Kajian Kasus Pengadaan Tanah RS Sumber Waras oleh PemProv DKI Jakarta
Oleh: Suswinarno
- KONDISI (keadaan yang sebenarnya terjadi)
- Riwayat Tanah
Lahan
RS Sumber Waras (RSSW) seluas 69.888 m2 awalnya 1 (satu) hamparan tanah
dengan 1 (satu) sertifikat, 1 NOP (Nomor Objek Pajak), dan 1 NJOP
(Nilai Jual Objek Pajak).
Pada
tahun 1970 lahan dipecah menjadi 2 (dua) sertifikat, masing-masing
dengan luas 33.478 m2 (SHM) dan 36.410 m2 (HGB). Pemecahan sertifikat
tersebut tidak diikuti dengan pemecahan NOP dan SPT PBB. Dengan kata
lain, NOP dan SPT PBB kedua sertifikat tersebut masih menjadi satu.
Alamat lahan pada sertifikat induk
(sebelum dipecah) adalah Jalan Kyai Tapa, sesuai dengan lokasinya yang
memang di pinggir Jalan Kyai Tapa. Alamat yang tercantum pada 2
sertifikat hasil pemecahan secara otomatis mengikuti alamat sertifikat
induk, yaitu Jalan Kyai Tapa.
Faktanya, lahan/sertifikat yang
berbatasan langsung dengan Jalan Kyai Tapa adalah sertifikat SHM seluas
33.478 m2 (yang tidak dibeli Pemprov DKI Jakarta). Sedangkan
lahan/sertifikat HGB seluas 36.410 m2 yang dibeli Pemprov DKI Jakarta
tidak bersinggungan (tidak mempunyai akses) dengan Jalan Kyai Tapa
(walaupun alamat pada sertifikatnya Jalan Kyai Tapa).
- Perencanaan Pembelian
Tanggal 7 Juli 2014 Yayasan Kesehatan
Sumber Waras/YKSW (pemilik lahan RSSW) mengirimkan Surat Penawaran Harga
lahan RSSW kepada Pemprov DKI Jakarta seharga Rp 755.689.550.000,00.
Tanggal 8 Juli 2014 Plt Gubernur DKI
Jakarta mengirimkan disposisi kepada Kepala Bapeda supaya menganggarkan
pembelian lahan RSSW melalui APBD-P 2014.
Catatan: Pada saat YKSW menawarkan lahan
kepada Pemprov DKI Jakarta, YKSW masih terikat perjanjian jual-beli
lahan tersebut dengan PT Ciputra Karya Utama. Perjanjian Perikatan
Jual-Beli (PPJB) antara YKSW dan PT CKU ditandatangani pada tanggal 14
November 2013 dengan harga Rp 15.500.000,00 per m2. Total kesepakatan
harganya adalah Rp 564.355.000.000,00. Uang muka yang dibayarkan PT CKU
kepada YKSW sebesar Rp 50.000.000.000,00.
- Harga Beli Pemprov DKI Jakarta Rp 755.689.550.000,00
NJOP dua sertifikat hasil pemecahan
(karena masih 1 SPT PBB) pada tahun 2014 adalah Rp 20.755.000 per m2.
Pemprov DKI Jakarta membeli lahan HGB dengan luas 36.410 m2 berdasarkan
NJOP tahun 2014, dengan demikian total harga belinya menjadi Rp
755.689.550.000,00.
- Pelaksanaan Pembelian Lahan
Pemprov DKI Jakarta membayar pembelian
lahan secara tunai (sekaligus) dengan menggunakan cek Bank DKI sebesar
Rp 755.689.550.000,00 pada tanggal 31 Desember 2014, malam hari (+/- jam
19.00).
- KRITERIA (keadaan yang seharusnya terjadi)
Pengadaan/pembelian tanah oleh Pemerintah
Pusat/Daerah yang dibiayai dengan (menggunakan) APBN/APBD harus
berdasarkan Perpres RI Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanah
bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (termasuk revisinya, Perpres RI
Nomor 40 tahun 2014 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 71 tahun 2012
tentang Penyelenggaraan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum),
sebagaimana diatur pada pasal Pasal 117 yang menyatakan bahwa:
Pendanaan Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
III. HASIL KAJIAN ILMIAH
- Perencanaan Pengadaan/Pembelian Lahan RSSW
Pemprov DKI Jakarta dalam merencanakan
dan melaksanakan pembelian lahan RSSW tidak berdasarkan Perpres RI Nomor
71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum.
Pasal 2 Perpres RI Nomor 71 tahun 2012 mengatur bahwa:
Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui tahapan:
perencanaan;
persiapan;
pelaksanaan; dan
penyerahan hasil.
Pasal 3 Perpres RI Nomor 71 tahun 2012 mengatur bahwa:
(1) Setiap Instansi yang memerlukan tanah
bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum membuat rencana Pengadaan Tanah
yag didasarkan pada:
- Rencana Tata Ruang Wilayah; dan
- Prioritas Pembangunan yang tercantum dalam:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah;
Rencana Stategis; dan
Rencana Kerja Pemerintah Instansi yang bersangkutan.
Pemprov DKI Jakarta tidak pernah
merencanakan pengadaan/pembelian lahan RSSW dalam RPJP, Rencana
Strategis (RPJM), maupun Rencana Kerja tahun 2014.
Pengadaan/pembelian lahan RSSW dilakukan
dengan tiba-tiba tanpa perencanaan. Pemprov DKI Jakarta menganggarkan
pembelian RSSW (setelah menerima penawaran harga dari YKSW) dalam
APBD-Perunahan 2014. Bahkan pembelian tersebut tidak direncanakan (tidak
dianggarkan) dalam APBD induk 2014.
Hal ini melanggar pasal 2 dan pasal 3
Perpres RI Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Pasal 6 Perpres RI Nomor 71 tahun 2012 mengatur bahwa:
Dokumen perencanaan Pengadaan Tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) disusun berdasarkan studi
kelayakan yang mencakup:
survei sosial ekonomi;
kelayakan lokasi;
analisis biaya dan manfaat pembangunan bagi wilayah dan masyarakat;
perkiraan nilai tanah;
dampak lingkungan dan dampak sosial yang
mungkin timbul akibat dari Pengadaan Tanah dan pembangunan; dan studi
lain yang diperlukan.
Survei sosial ekonomi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan untuk menghasilkan kajian
mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat yang diperkirakan terkena
dampak Pengadaan Tanah.
Kelayakan lokasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hurub b, dilakukan untuk menghasilkan analisis mengenai
kesesuaian fisik lokasi dengan rencana pembangunan yang akan
dilaksanakan untuk kepentingan umum yang dituangkan dalam bentuk peta
rencana lokasi pembangunan.
Analisis biaya dan manfaat pembangunan
bagi wilayah dan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
dilakukan untuk menghasilkan analisis mengenai biaya yang diperlukan dan
manfaat pembangunan yang diperoleh bagi wilayah dan masyarakat.
Perkiraan nilai tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d, dilakukan untuk menghasilkan perkiraan
besarnya nilai Ganti Kerugian Objek Pengadaan Tanah.
Dampak lingkungan dan dampak sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, dilakukan untuk menghasilkan
analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau dokumen lingkungan hidup
lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Studi lain yang diperlukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf f, merupakan hasil studi yang secara khusus
diperlukan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai
dengan huruf e dapat berupa studi budaya masyarakat, studi politik dan
keamanan, atau studi keagamaan, sebagai antisipasi dampak spesifik
akibat pembangunan untuk kepentingan umum.
Pemprov DKI Jakarta tidak pernah membuat
studi kelayakan lokasi dan perkiraan nilai tanah sebagaimana diatur pada
pasal 6 ayat (1) huruf b dan d.
Kelayakan lokasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hurub b, dilakukan untuk menghasilkan analisis mengenai
kesesuaian fisik lokasi dengan rencana pembangunan yang akan
dilaksanakan untuk kepentingan umum yang dituangkan dalam bentuk peta
rencana lokasi pembangunan.
Lokasi tanah yang dibeli Pemprov DKI
Jakarta (yang akan digunakan/dibangun Rumah Sakit) tidak mempunyai akses
ke jalan raya. Hal ini melanggar pasal 6 ayat (1) huruf b dan pasal 6
ayat (3).
Perkiraan nilai tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d, dilakukan untuk menghasilkan perkiraan
besarnya nilai Ganti Kerugian Objek Pengadaan Tanah.
Harga tanah yang dibayar Pemprov DKI
Jakarta tidak berdasarkan Penilai internal maupun Penilai Publik
(appraisal). Harga tanah yang dibayar berdasarkan penawaran penjual
(YKSW), tanpa ada proses negosiasi. Hal ini melanggar pasal 6 ayat (1)
huruf d dan pasal 6 ayat (5).
- Pelaksanaan Pengadaan Tanah
Pelaksanaan pengadaan tanah diatur pada pasal 49, pasal 53, dan pasal 56 sebagai berikut:
BAB IV PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH, Bagian Kesatu: Umum
Pasal 49:
Pelaksanaan Pengadaan Tanah diselenggarakan oleh Kepala BPN.
Pelaksanaan Pengadaan tanah sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1),dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN
selaku ketua pelaksana Pengadaan Tanah.
Susunan keanggotaan pelaksanaan Pengadaan
tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh ketua
Pelaksana Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
berunsurkan paling kurang :
pejabat yang membidangi urusan pengadaan Tanah di lingkungan kantor Wilayah BPN;
Kepala Kantor Pertanahan setempat pada lokasi Pengadaan Tanah;
pejabat satuan kerja perangkat daerah provinsi yang membidangi urusan pertanahan;
camat setempat pada lokasi Pengadaan tanah; dan
Lurah/kepala desa atau nama lain pada lokasi pengadaan tanah.
Pasal 53:
Dalam melaksanakan penyiapan pelaksanaan
Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, pelaksana Pengadaan
Tanah melakukan kegiatan, paling kurang;
Membuat agenda rapat pelaksanaan;
Membuat rencana kerja dan jadwal kegiatan;
Menyiapkan pembentukan Satuan tugas yang diperlukan dan pembagian tugas;
Memperkirakan kendala-kendala teknis yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan;
Merumuskan strategi dan solusi terhadap hambatan dan kendala dalam pelaksanaan;
Menyiapkan langkah koordinasi ke dalam maupun ke luar di dalam pelaksanaan;
Menyiapkan administrasi yang diperlukan;
Mengajukan kebutuhan anggaran operasional pelaksanaan Pengadaan Tanah;
Menetapkan Penilai; dan
Membuat dokumen hasil rapat.
Pasal 56:
Satuan Tugas yang membidangi
inventarisasi dan identifikasi data fisik penguasaan,pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54
ayat (1) huruf a melaksanakan pengukuran dan pemetaan bidang per bidang
tanah, meliputi:
pengukuran dan pemetaan batas keliling lokasi; dan
pengukuran dan pemetaan bidang per bidang
Pengukuran dan pemetaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan mengenai Pendaftaran Tanah.
Hasil Inventarisasi dan identifikasi
pengukuran dan pemetaan batas keliling lokasi dan pengukuran dan
pemetaan bidang per bidang tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam bentuk peta bidang tanah dan ditandatangani oleh ketua
Satuan Tugas.
Peta bidang tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan dalam proses penentuan nilai Ganti kerugian dan pendaftaran hak.
Dalam melaksanakan pengadaan tanah RSSW:
Pemprov DKI Jakarta tidak melibatkan
pejabat yang membidangi urusan pengadaan Tanah di lingkungan kantor
Wilayah BPN dan Kepala Kantor Pertanahan setempat pada lokasi Pengadaan
Tanah;
Pelaksana pengadaan tanah tidak menetapkan Penilai; dan
Tidak membuat Peta bidang tanah yang digunakan dalam prose penentuan nilai Ganti kerugian dan pendaftaran hak.
Hal ini melanggar pasal 49, pasal 53, dan
pasal 56 Perpres RI Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanah
bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
- Penetapan Nilai Ganti Rugi (Harga Beli Tanah)
Penetapan Penilai dan nilai ganti rugi pengadaan tanah diatur pada pasal 63, pasal 64, pasal 65, dan pasal 66 sebagai berikut:
Bagian Keempat: Penetapan Nilai
Pasal 63
Penetapan besarnya nilai ganti kerugian
dilakukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah berdasarkan hasil
penilaian jasa penilai atau penilai publik.
Jasa Penilai atau Penilai Publik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diadakan dan ditetapkan oleh Ketua
Pelaksana Pengadaan Tanah.
Pengadaan jasa Penilai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dibidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Pelaksanaan pengadaan Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
Pasal 64
Dalam hal pemilihan Penilai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 63 tidak dapat dilaksanakan, Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah menunjuk Penilai Publik.
Pasal 65
Penilai bertugas melakukan penilaian besarnya Ganti Kerugian bidang per bidang tanah, meliputi :
tanah;
ruang atas tanah dan bawah tanah;
bangunan;
tanaman;
benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau kerugian lain yang dapat dinilai.
Dalam melakukan tugasnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penilai atau Penilai Publik meminta peta bidang
tanah, daftar nominatif dan data yang diperlukan untuk bahan penilaian
dari Ketua Pengadaan Tanah.
Pelaksanaan tugas Penilai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak ditetapkannya Pnilai oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah.
Pasal 66
Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh
Penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 merupakan nilai pada saat
pengumuman Penetapan Lokasi pembangunan untuk Kepentingan umum.
Nilai ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),merupakan nilai tunggal untuk bidang per bidang tanah.
Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan
hasil penilaian oleh Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), oleh
Penilai disampaikan kepada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah dengan berita
acara penyerahan hasil penilaian.
Besarnya Nilai Ganti Kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dijadikan dasar musyawarah untuk menetapkan
bentuk Ganti Kerugian.
Dalam menetapkan nilai ganti rugi (harga
tanah), Pemprof DKI Jakarta tidak melibatkan Penilai atau Penilai Publik
(appraisal). Harga tanah berdasarkan penawaran penjual (YKSW), tidak
berdasarkan penilaian tim Penilai atau Penilai Publik.
Hal ini melanggar pasal 63, 64, 65, dan
pasal 66 Perpres RI Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanah
bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
- Penyerahan Hasil Pengadaan Tanah
Penyerahan hasil pengadaan tanah diatur pada pasal 112 sebagai berikut:
BAB V, PENYERAHAN HASIL PENGADAAN TANAH, Bagian Kesatu: Berita Acara Penyerahan
Pasal 112
Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah
menyerahkan hasil Pengadaan Tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah
disertai data Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110,
paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak pelepasan hak Objek Pengadaan
Tanah.
Penyerahan hasil Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa bidang tanah dan dokumen Pengadaan Tanah.
Penyerahan hasil Pengadaan Tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan berita acara untuk
selanjutnya dipergunakan oleh Instansi yang memerlukan tanah guna
pendaftaran/pensertipikatan.
Pendaftaran/pensertipikatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan oleh instansi yang memerlukan
tanah dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
penyerahan hasil Pengadaan Tanah.
Pembayaran pengadaan tanah RSSW dilakukan
secara tunai (sekaligus/lunas) dengan cek Bank DKI sebesar Rp
755.689.550.000,00, tetapi fisik tanah tersebut belum dapat dikuasai
oleh Pemprov DKI Jakarta karena pada lahan tersebut masih digunakan
sebagai RS Sumber Waras. Lokasi tanah akan diserahkan oleh penjual 2
(dua) tahun kemudian (padahal pembayarannya sudah lunas). Oleh karena
itu, Pemprov DKI Jakarta tidak dapat mensertifikatkan tanah tersebut.
Hal ini melanggar pasal 112 Perpres RI
Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum, yang menyatakan bahwa Pendaftaran/pensertipikatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan oleh instansi yang
memerlukan tanah dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak penyerahan hasil Pengadaan Tanah.
- Kerugian Negara
Definisi tentang Kerugian Negara/Daerah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan (UU BPK) pada pasal 1 angka 15 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) pada pasal
1 angka 22 sebagai berikut (definisinya sama):
“Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan
uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya
sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.”
Pada bagian “penjelasan pasal” untuk
pasal definisi kerugian Negara, tertulis: “sudah jelas”. Artinya,
definisi tersebut tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut karena
definisi tersebut mudah dipahami dan tidak memungkinkan terjadinya
multi-interpretasi.
Dalam konteks pengadaan barang/jasa
(termasuk pengadaan tanah), maka pemahaman tentang kerugian Negara
adalah selisih kurang (apabila ada) antara jumlah uang yang dibayarkan
(yang sesungguhnya terjadi) dengan nilai barang/jasa menurut harga wajar
(harga pasar).
Contoh: Apabila suatu Pemda membeli mobil
/ komputer / furniture / tanah / bangunan / apapun bentuk barangnya
seharga Rp 400 juta, sedangkan harga wajar (harga pasar) mobil /
komputer / furniture / tanah / bangunan / apapun bentuk barangnya
tersebut ternyata Rp 330 juta, maka kerugian negaranya Rp 70 juta (400
juta – 300 juta). Rumus menghitung kerugian Negara ini berlaku umum,
sederhana, dan mudah dipahami oleh siapapun. Siapapun pembelinya
(pemerintah pusat maupun pemerintah daerah manapun, apapun jenis barang
yang dibeli, maka rumus menghitung kerugian negaranya sama seperti
tersebut di atas.
Dalam konteks pengadaan tanah Sumber
Waras oleh Pemprov DKI Jakartapun berlaku rumus yang sama. Kerugian
Negara/daerahnya adalah selisih antara uang yang dibayarkan Pemprov DKI
Jakarta dengan harga wajar (harga pasar) tanah yang dibeli.
Uang yang dibayarkan dari kas daerah
untuk membeli tanah Sumber Waras sudah jelas, yaitu Rp
755.689.550.000,00. Berapa harga wajar (harga pasar) tanah tersebut?
Pada titik inilah terjadi perbedaan perpsepsi (yang seharusnya tidak
perlu terjadi, karena pedoman untuk menentukan harga wajar (harga pasar)
sudah sangat jelas). Untuk dapat menentukan harga wajar (harga pasar)
tanah yang dibeli, pemerintah pusat/pemerintah daerah diwajibkan oleh
Perpres RI Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum untuk menunjuk Penilai internal atau
Penilai Publik (appraisal). Apabila Pemprov DKI Jakarta dalam membeli
tanah Sumber Waras sudah menunjuk Penilai internal atau Penilai Publik
(appraisal), maka silang-sengkarut pembelian tanah Sumber Waras tidak
akan mungkin terjadi. Masalahnya adalah Pemprov DKI Jakarta dalam
pembelian tanah tersebut tidak menunjuk Penilai internal atau Penilai
Publik (appraisal). Tentu saja hal ini melanggar Perpres RI Nomor 71
tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana
caranya mendapatkan harga wajar (harga pasar) tanah yang tidak
ditentukan oleh Penilai internal atau Penilai Publik (appraisal)?
Best Practice memberikan panduan, untuk
menentukan harga wajar (harga pasar) tanah adalah dengan cara mencari
informasi transaksi di sekitar lokasi tanah yang dibeli pada waktu yang
berdekatan. Informasi tersebut (apabila dapat diperoleh) tidak dapat
direkayasa oleh siapapun. Artinya, informasinya objektif dan independen.
Metodologi seperti ini sudah diketahui oleh auditor di manapun.
Kembali pada kasus pembelian tanah Sumber
Waras, maka harga wajar (harga pasar) nya adalah informasi tentang
transaksi lokasi tanah sekitar lahan Sumber Waras pada waktu yang
berdekatan dengan transaksi oleh Pemprov DKI Jakarta. Kebetulan (?),
pada lokasi tanah yang sama pada waktu yang berdekatan (beberapa bulan
sebelum transaksi oleh Pemprov DKI Jakarta), penjual (YKSW) melakukan
transaksi jual-beli tanah tersebut dengan PT CKU. Bahkan perjanjian
jual-beli tersebut masih berlaku pada saat tanah tersebut ditawarkan
kepada Pemprov DKI Jakarta. Akhirnya perjanjian jual-beli antara YKSW
dengan PT KCU dibatalkan oleh penjual (YKSW) karena Pemprov DKI Jakarta
bersedia (?) membeli dengan harga yang lebih mahal. Dengan demikian,
informasi harga wajar (harga pasar) tanah Sumber Waras dengan mudah
dapat diketahui, yaitu sebesar Rp 564.355.000.000,00. Dengan demikian,
jumlah kerugian negaranya adalah selisih antara uang yang dibayarkan
pemprov DKI Jakarta (Rp 755.689.550.000,00) dengan harga wajar (harga
pasar) tanah tersebut (Rp 564.355.000.000,00), yaitu Rp
191.334.550.000,00.
Lho, dalam menghitung kerugian Negara kok tidak menyinggung tentang NJOP?
Dalam menghitung kerugian Negara
(khususnya kasus pembelian tanah) memang tidak pernah menggunakan dasar
NJOP! Gunanya NJOP adalah sebagai dasar untuk menghitung Pajak Bumi dan
Bangunan yang harus dibayar (terutang). Tidak ada tujuan lainnya selain
itu. Oleh karena itu, BPK dalam menghitung kerugian Negara juga tidak
menggunakan NJOP Jalan Tomang Utara (lokasi/letak tanah yang dibeli
Pemprov DKI Jakarta) sebagai pembanding.
Perdebatan mengenai NJOP dalam kasus
pembelian tanah Sumber Waras adalah penyesatan terang-terangan. Dalam
menghitung kerugian Negara, tidak ada urusannya (tidak ada hubungannya)
dengan NJOP. Apakah besarnya NJOP jalan Kyai Tapa Rp 20 juta per m2,
apakah Rp 35 juta per m2 … terserah. Apakah NJOP Jalan Tomang Utara Rp 5
juta per m2, apakah Rp 2 juta per m2 … terserah. Tidak ada urusannya
dengan penghitungan kerugian Negara.
Demikian juga dengan perdebatan
letak/lokasi tanah, apakah terletak di Jalan Kyai Tapa atau Jalan Tomang
Utara. Hal inipun juga tidak ada urusannya (tidak ada hubungannya)
dengan penghitungan Negara.
Apabila dikembalikan pada definisi kerugian Negara menurut Undang-Undang bahwa
“Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan
uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya
sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.”,
maka dalam kasus pembelian tanah Sumber
Waras kerugian Negara telah sempurna terjadi, karena Pemprov DKI Jakarta
melawan hukum baik sengaja maupun lalai, yaitu melanggar Perpres RI
Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum. Jumlah kerugian negaranyapun nyata dan pasti, yaitu
Rp 191.334.550.000,00.
- Tindak Pidana Korupsi
Dasar hukum pemberantasan korupsi adalah
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Definisi korupsi dan ancaman hukumannya diatur pada pasal 2 dan
pasal 3 sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (1)
Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara,
dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Penjelasan pasal 2 ayat (1):
Yang dimaksud dengan “secara melawan
hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti
formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut
dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa
“merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak
pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana
korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah
dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
Penjelasan pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
Yang dimaksud dengan “secara nyata telah
ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung
jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan
publik yang ditunjuk.
Dalam kasus pembelian tanah Sumber Waras,
KPK sebagai penegak hukum pemberantas korupsi telah minta BPK untuk
melakukan audit investigasi. BPK sebagai instansi yang berwenang
menghitung kerugian Negara telah melaporkan dalam Laporan Hasil
Pemeriksaannya bahwa telah terjadi kerugian Negara sebesar Rp
191.334.550.000,00.
Unsur tindak pidana korupsi menurut pasal 2 ayat (1) yang berkaitan dengan kasus pembelian tanah Sumber Waras adalah:
Setiap orang, artinya subyek yang bertanggung jawab.
Melawan hukum, yaitu melanggar Perpres RI
Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanah bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum.
Memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, dalam kasus pembelian tanah Sumber Waras,
(minimal) ada orang lain yang diperkaya, yaitu penjualnya.
Merugikan keuangan Negara, sudah jelas terpenuhi yaitu Rp 191.334.550.000,00.
Unsur tindak pidana korupsi menurut pasal 3 yang berkaitan dengan kasus pembelian tanah Sumber Waras adalah:
Setiap orang, artinya subyek yang bertanggung jawab.
Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu (minimal) menguntungkan orang lain/penjual.
Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Karena
pembelian tanah Sumber Waras melanggar Perpres RI Nomor 71 tahun 2012
tentang Penyelenggaraan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,
tentu ada pejabat yang menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan apakah Gubernur, Wakil
Gubernur, Kepala Dinas Kesehatan, dan/atau Kepala Badan Pengelola
Keuangan dan Aset Daerah, secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri.
Merugikan keuangan Negara, sudah jelas terpenuhi yaitu Rp 191.334.550.000,00.
Berdasarkan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, maka pembelian tanah Sumber Waras oleh pemprov DKI Jakarta
memenuhi semua unsur tindak pidana korupsi.
Bagaimana dengan unsur niat jahat? Bukankah pada pembelian tanah Sumber Waras tidak ditemukan adanya niat jahat?
Pertama, dalam Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak diatur
adanya niat jahat. Berdasarkan Undang-Undang, maka semua unsur tindak
korupsi dalam kasus pembelian tanah Sumber Waras oleh pemprov DKI
Jakarta sudah terpenuhi.
Kedua, niat baikpun tidak dapat
menghalalkan proses yang melanggar hukum. Seseorang yang mencuri uang
kantor untuk disumbangkan semuanya ke masjid/gereja, tidak menggugurkan
perbuatan korupsinya (walaupun dia “berniat baik”).
Ketiga, niat jahat tidak disimpulkan dari
tujuannya (untuk membangun rumah sakit), tetapi disimpulkan dari
prosesnya, yaitu melanggar Perpres RI Nomor 71 tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Proses
yang melanggar hukum, baik sengaja maupun lalai berarti berniat jahat.
- Alat Bukti Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang atau Peraturan yang
Dilanggar: Perpres RI Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanah
bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Jumlah Kerugian Negara: Rp 191.334.550.000,00 sesuai hasil audit investigasi BPK.
Dokumen: Surat Penawaran Harga YKSW, Disposisi Gubernur, APBD-P 2014, Cek Pembayaran (SP2D), notulen rapat, dll.
Saksi: Ketua YKSW, Kepala Bapeda, Kepala Dinkes, dll.
Dari kajian di atas, dapat disimpulkan bahwa:
Pengadaan/pembelian tanah Sumber Waras
oleh Pemprov DKI Jakarta tidak berdasarkan (melanggar) Perpres RI Nomor
71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum, baik perencanaannya, pelaksanaannya, tim pelaksananya,
maupun penyerahan hasilnya.
Kerugian Negara secara definitive sudah terjadi.
Pelanggaran hukumnya jelas, TERANG-BENDERANG.
Dalam menghitung kerugian Negara, tidak ada kaitannya dengan NJOP maupun lokasi tanah.
Semua unsur tindak pidana korupsi
berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sudah terpenuhi secara sempurna.
Niat jahat tidak diatur sebagai unsur
tindak pidana korupsi. Niat baikpun apabila merugikan Negara dan
melanggar hukum akan dipidana.
Dalam bahasa Anggota III BPK, pada kasus
pembelian tanah Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta, TELAH TERJADI
PENYIMPANGAN YANG SEMPURNA. [KbrNet/Slm]
KabarNet