Today :

Not found what you looking for?:

Siapa Sangka Bocah 9 Thn Ini Bisa Hampir Semua Bahasa Programmer


Su Lieyi, si bocah laki-laki dari Taian City, Propinsi Shandong, dilaporkan sangat mahir dalam beberapa bahasa pemrograman.

Ia telah membuat web pribadi, mengembangkan perangkat lunaknya, dan mencapai tingkat perguruan tinggi dengan autodidak, misalnya matematika, fisika, dan kimia.

Liu Xinxin, ibu Su Lieyi, dalam wawancara dengan surat kabar Qilu Evening News, bahwa Su memperlihatkan perhatian besar pada komputer sejak usia 7 tahun, ketika kali pertama diperkenalkan dengan komputer. Waktu itu, ia membelikan beberapa buku komputer tingkat dasar.

Dalam 2 tahun, Su menguasai lebih dari belasan bahasa pemrograman. Pada umur 8 tahun, ia belajar C language, FoxPro, VB, C, C++, Pascal, PHP, JAVA, dan ASP, tetapi belum bisa Python dan Perl.

Menurut Liu, Su memanfaatkan beberapa perangkat lunak gratisan yang didapat di internet untuk mengembangkan sistem operasional miliknya. Ketika sebuah forum moderator memberi Su sebuah microsoft recruitment assessment form untuk mengujinya. Ia memperoleh nilai hampir sempurna.

Su menyelesaikan website-nya sendiri dalam waktu kurang dari satu bulan. Ia bilang, 'Sebenarnya website adalah sebuah forum. Bertujuan memberitahu orang yang ingin berbagi ketertarikan yang sama dalam pemrograman.'

Sekarang Su belajar sendiri di rumah. Ibunya mengatakan bahwa saat usia 7 tahun, Su masuk kelas lima sekolah dasar untuk memperoleh pengenalan sekolah tetapi ternyata ia telah menguasai seluruh pengetahuan yang diajarkan di sekolah.

Ketika Su usia 8 tahun, ia masuk SMP. Ia dapat menjawab semua pertanyaan yang guru berikan. Sebuah kejutan bagi gurunya bahwa Su lulus ujian dengan nilai 100 untuk matematika dan nilai tinggi untuk bahasa Mandarin dan Inggris.

Liu kemudian memasukkan anaknya ke SMA. Bahan yang diajarkan di sekolah ini juga mudah bagi Su untuk dimengerti. Ia sering mendapat nilai 90 dibidang matematika dan ranking pertama dalam bidang fisika.

Saat ini Su mempelajari buku-buku tingkat perguruan tinggi seperti matematika lanjutan. Liu mengatakan, 'Ia tidak pernah membaca keseluruhan buku. Ia sering memeriksa halaman isi buku dan membaca salah satu yang ia merasa tertarik. Kemudian membacanya dengan cermat sampai sepenuhnya mengerti isinya.'

HAH..Pria Ini Sudah Selingkuh Sebanyak 1.073 Wanita


Pria ini selingkuh dengan banyak wanita. Tidak tanggung-tanggung, ia telah berhubungan dengan 1.073 wanita sekaligus.Menurut kepolisian di Arab Saudi nomor kontak telepon yang disimpan di ponsel menunjukkan pria itu berselingkuh dengan 1.073 perempuan dan anak perempuan, banyak dari mereka menjadi korban pemerasan dan penipuan.
Polisi juga menemukan gambar di ponsel itu, yang memperlihatkan sang pria berbuat cabul dengan wanita.
Ada juga video yang menunjukkan si pria memukuli perempuan lain, beberapa di antaranya mengaku sang pria memeras mereka.
Dia mengancam wanita untuk mempublikasikan foto-foto mereka, kecuali mereka memberinya uang dan perhiasan. Dia dipenjara dua kali, tapi tidak bisa menghentikan praktik-praktik tersebut
pria

Mengubah Aib Anak Cacat Di Negara Berkembang


Di banyak negara di dunia, kecacatan menjadi sebuah aib. Anak cacat ditutup-tutupi keluarga dan tidak diizinkan bersekolah. Sebuah laporan UNICEF menaruh perhatian pada penderitaan mereka yang tragis.
uyen
uyen sedang belajar

Uyen (9) dari kota Zandong di Vietnam adalah penyandang cacat mental. Untuk waktu yang lama, ia tinggal di rumah bersama kakek-neneknya tanpa bantuan atau pendidikan, hingga pekerja sosial meyakinkan kakek-nenek Uyen untuk mengirim Uyen ke pusat pendampingan bagi anak-anak cacat.
"Ia tidak dapat berjalan dan hanya bisa bicara beberapa kata," jelas Rudi Tarneden, jurubicara lembaga bantuan Anak-anak PBB (UNICEF). "Sekarang Uyen yang dulunya terisolasi berubah menjadi anak yang bahagia, penuh rasa ingin tahu dan cerdas." Perkembangan Uyen menjadi kisah sukses anak cacat dalam mendapatkan akses terhadap pendidikan, tambah Tarneden.
Namun situasinya umum bagi banyak anak cacat di negara berkembang atau negara ambang industri, berbeda dari kisah "happy end" Uyen. Tidak lebih dari 15 persen penyandang cacat di negara-negara berkembang memiliki akses terhadap alat-alat yang dibutuhkan seperti misalnya kursi roda.
Sekitar 75 persen penderita epilepsi di negara miskin tidak mendapatkan obat-obatan yang diperlukan, begitu menurut perkiraan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), meski tidak menyebutkan angka pasti.
Terlantar, terisolasi, terdiskriminasi
Walau banyak cara khusus untuk membantu anak cacat di negara maju, mereka "terlupakan, terlantar dan kerap terdiskriminasi" di bagian dunia lainnya, ungkap Tarneden. Ketidaktahuan dan stigmatisasi mendorong isolasi anak cacat sehingga mereka "tidak terlihat," demikian menurut laporan UNICEF.
Di Eropa Timur, misalnya, pemerintah lazimnya menganjurkan orangtua untuk mengirim anak cacat ke rumah perawatan khusus daripada membesarkan sendiri di tengah keluarga. UNICEF menyerukan sebaliknya. "Kami menuntut anak cacat tidak lagi diabaikan kalau menyangkut pengasuhan, dan fasilitas yang memadai harus dibuka," tegas organisasi tersebut.
Banyak contoh sukses proyek amal menunjukkan bahwa integrasi semacam ini bukan sekedar idealisme. Di Armenia, UNICEF mengajar guru dan pendidik cara merespon kebutuhan khusus anak cacat. Hingga kini, 81 sekolah reguler dan 30 taman kanak-kanak telah berpartisipasi dalam proyek ini.
Integrasi di sekolah reguler menjadi langkah besar bagi Armenia, sebuah negara di mana sekitar 30 persen anak cacat kini tidak bersekolah.
Integrasi, bukan isolasi
Di Vietnam, Caritas mendidik tenaga bantuan kesehatan untuk membantu keluarga mengasuh anak cacat di rumah dengan lebih baik. "Anak cacat seringkali tidak bersekolah di sini, karena ketakutan dan diskriminasi," ujar Christine Wegner-Schneider, koordinator proyek Caritas di Asia. "Orang kerap berpikiran kecacatan itu penyakit menular."
Wegner-Schneider menilai kemajuan asosiasi orangtua di Vietnam sebagai langkah penting, karena bermanfaat untuk jangka panjang ketimbang fasilitas sosial yang mengisolasi anak cacat.
"Kami ingin anak cacat untuk tumbuh besar di lingkungan keluarga," tambahnya. Itu juga mengapa Caritas mendukung keluarga miskin dengan kredit mikro sehingga mereka dapat berinvestasi untuk peternakan sapi atau membuat bisnis kecil, karena membesarkan anak cacat berarti menggerogoti anggaran keluarga.