Today :

Not found what you looking for?:

Cara Agar Tidur Berkualitas

Tidur malam yang baik, setidaknya 7 jam, adalah sebuah keharusan bagi tubuh kita. Dari segi kesehatan dan kebugaran, tidur malam yang baik dapat membantu kita tetap langsing dengan menjaga sensitivitas insulin. Hal ini juga mengurangi risiko flu dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap stres. Tidur malam yang baik juga meningkatkan memori dan kinerja otak.


Bagaimana agar dapat memperoleh tidur malam yang berkualitas? Simak tips berikut ini!

1. Matikan lampu atau kurangi tingkat pencahayaan di malam hari. Pencahayaan di malam hari bisa mengganggu produksi melatonin dan merusak kualitas tidur kita. Matikan semua lampu dan perangkat elektronik sehingga kita bisa tidur dengan tenang.
2. Jauhkan ponsel. Radiasi yang dipancarkan dari ponsel dapat meningkatkan jumlah waktu yang diperlukan untuk mencapai siklus tidur nyenyak dan mengurangi jumlah waktu yang dihabiskan dalam siklus. Sebuah penelitian kecil yang dilakukan tahun 2007, menemukan bahwa radiasi dari ponsel benar-benar bisa menyebabkan insomnia dan mengganggu kualitas tidur.
3. Buatlah kamar setenang mungkin. Kebisingan telah terbukti menurunkan kualitas tidur secara keseluruhan. Banyak orang merasa sulit tertidur ketika orang berbicara keras atau ketika ada suara yang mengganggu. Bisa juga menggunakan tutup telinga sehingga suara tidak mengganggu tidur kita.
4. Tetapkan jadwal tidur dan tepati. Kita harus lebih disiplin untuk melakukannya, tak ada salahnya juga untuk mencoba untuk bangun dan tidur pada waktu yang sama setiap hari, bahkan pada akhir pekan. Tubuh tidak akan mampu membangun ritme yang efektif, jika kita tidak membuat dan mematuhi pola.
5. Baca sesuatu yang ringan 15 menit sebelum tidur. Hindari membaca sesuatu yang berat dan bisa merangsang kita secara intelektual. Gunakan waktu tersebut untuk membaca bacaan yang ringan. Ini akan membuat kita rileks dan tidur nyenyak.
6. Kualitas kasur. Pastikan kualitas tidur dapat membuat kita tertidur lelap. Kasur dengan kondisi bersih dan berkualitas baik dapat mendukung kualitas tidur malam kita.

Ingat, jangan begadang tanpa alasan yang jelas. Tidur malam yang berkualitas dapat mempengaruhi produktivitas dan kebugaran kita.

(Foto) Rahasia Keluarga Firaun Terungkap Lewat Mumi Mereka

Tutankhamun adalah Raja Firaun Mesir yang terkenal walau masih muda. Ia sangat kaya dan selama ribuan tahun rahasianya serta keluarganya belum terungkap.

Lembah Para Raja,Kings Valley Luxor
Lembah Para Raja (Kings Valley) dekat kota Luxor, tempat Raja Tut dan kerabatnya dimakamkan

Makam Raja Firaun Tutankhamun
Ruangan makan Raja Firaun Tutankhamun

Namun, kini bukti DNA bisa mengungkapkan kebenaran tentang orang tua dan keluarga raja muda ini dan petunjuk-petunjuk baru tentang kematiannya yang terlalu dini.

Peti Mati Raja Firaun Tutankhamun
Ini peti mati yang menyimpan sisa mumi Raja Firaun Tutankhamun. Peti ini berbobot 110 kilogram dan terbuat dari emas padat.

Topeng pemakaman Raja Firaun Tutankhamun
Topeng pemakaman Raja Firaun Tutankhamun yang meninggal saat masih muda. Topeng ini terbuat dari emas dan batu mulia. Topeng ini disimpan di Museum Kairo, Mesir.

Dan inilah hasil identifikasi DNA dari mumi-mumi di Lembah Para Raja di Luxor.

1. Amenhotep III (Kakek Firaun Tutankhamun)
Amenhotep III (Kakek Raja Firaun Tutankhamun)
Amenhotep III yang muminya dapat dilihat di sektor KV35 diidentifikasi sebagai kakek Tutankhamun yang memerintah dalam kemegahan sekitar 3.400 tahun yang lalu. Muminya dikubur dengan barang-barang yang berlimpah. Jenazah Amenhotep III ditemukan pada tahun 1898, disembunyikan bersama lebih dari selusin bangsawan lainnya di KV35 dari para penjarah makam.

2. Tiye (Nenek Firaun Tutankhamun)
Tiye (Mumi nenek Raja Firaun Tutankhamun)
Diantara jasad yang disembunyikan di KV35 terdapat sesosok mumi yang dikenal sebagai Wanita Tua. Namun tes DNA berhasil mengidentifikasi wanita bangsawan yang cantik ini sebagai Tiye, istri Amenhotep III, putri Yuya dan Tuyu, suami-istri rakyat jelata yang ditemukan pada tahun 1905 di dalam makam mereka sendiri yang tak pernah terjamah. Sebagai nenek Tutankhamun, Tiye dibalsem dengan tangan kiri menekuk dada, sebagai pose pemakaman seorang Ratu.

3. Akhenaten (Ayah Raja Firaun Tutankhamun)
Akhenaten (mumi ayah raja Firaun Tutankhamun)
Identitas ayah Raja Firaun Tutankhamun lama menjadi misteri. Salah satu dugaannya adalah Firaun yang murtad bernama Akhenaten yang meninggalkan panteon negara untuk menyembah dewa tunggal. Pada tahun 1907 muminya ditemukan dalam keadaan yang sudah sangat membusuk di sektor KV55. tes DNA berhasil mengidentifikasi bahwa Akhenaten merupakan putra Amenhotep III dan Ratu Tiye dan merupakan ayah kandung Raja Firaun Tutankhamun.

4. Ibu Raja Firaun Tutankhamun
Ibu Raja Firaun Tutankhamun KV35YL
Mumi yang ditemukan di KV35YL ini diduga sebagai ibu Raja Firaun Tutankhamun yang juga merupakan saudara Akhenaten (ayah Tutankhamun). Hubungan perkawinan sedarah amat lazim di kalangan bangsawan Mesir Kuno. Sejarah mencatat, Akhenaten menikahi Nefertiti. Namun mumi ini teridentifikasi melalui tes DNA sebagai ibunda Tutankhamun yang juga merupakan salah satu dari 5 putri Amenhotep IiI. Suda pasti mumi ini bukan Nefertiti.

5. Raja Firaun Tutankhamun
Mumi Raja Firaun Tutankhamun
Sebagai keturunan dari hasil incest, Raja Firaun Tutankhamun terindentifikasi memiliki cacat bawaan dan penyakit tulang (perkawinan sesama saudara dan dengan sepupu memang bisa berakibat fatal), yang menyebabkan dirinya amat kesakitan saat berjalan. Bahkan salah satu lukisan dimakamnya, dia digambarkan memakai tongkat untuk membantunya berjalan. Di dalam makamnya pun juga ditemukan 130 tongkat (yang sebagian sudah rusak) yang diidentifikasi sebagai tongkat yang pernah dia gunakan untuk membantunya berjalan.

Perkawinan sedarah tersebut dipastikan menghasilkan cacat tersebut dan menyebabkan Tutankhamun tidak dapat memiliki ahli waris dengan istrinya. Namun cacat apapun yang diwarisi oleh Raja Firaun Tutankhamun ini, ia dianggap sebagai Firaun dengan citra yang cemerlang, hal ini bisa dilihat dari topeng pemakaman dari batu mulia dan emas yang oleh masyarakat Mesir Kuno dianggap sebagai daging para dewa.

silsilah keluarga Firaun Tutankhamun
Bagan silsilah keluarga Firaun yang diwarnai perkawinan sedarah

Walau ia mati dalam usia remaja dan kaki kirinya cacat (satu jari kaki tidak bertulang dan tulang di bagian belakang kakinya hancur akibat nekrosis) ia tetaplah merupakan Firaun yang paling menjadi primadona di mata para peneliti.
(National Geographic, The Sunday Times, Egyptian Dreams)

Jilbab Polwan Diganjal Nanan

Melarang polwan mengenakan jilbab berarti pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan konstitusi. 
Seorang polwan yang pernah bertugas di jajaran Polda Jawa Tengah mengadu kepada seorang ustad kondang, Ustad Wahfiudin, tentang keinginannya mengenakan jilbab. ''Sudah lebih dari tiga tahun hati nurani saya menjerit karena sepulang dari menunaikan ibadah haji. Saya berkeinginan besar untuk mengenakan seragam polri dengan berjilbab,'' kata polwan yang tidak bersedia disebutkan namanya itu.

Menurut Wahfiudin, apa yang disampaikan polwan berpangkat perwira itu sebenarnya mewakili ratusan polwan yang berkeinginan untuk mendapatkan izin berseragam Polri dengan mengenakan jilbab. Sejumlah polwan yang bertugas di Polda Jateng sudah pernah menulis surat kepada Kapolri agar mendapat izin mengenakan jilbab, tetapi tidak dikabulkan. Bahkan, setelah itu keluar surat edaran Kapolri yang menegaskan bahwa yang boleh berseragam Polri dengan mengenakan jilbab hanya polwan yang bertugas di Polda NAD.

Untuk meraih dukungan supaya diperbolehkan mengenakan jilbab saat mengenakan seragam dinas, dibuatlah grup “Dukung Polwan Berseragam Diizinkan Menggunakan Jilbab” di jejaring sosial facebook.Grup ini, kata Wahfiudin, dibuat oleh para polwan yang ingin mengenakan jilbab.
"Jeritan hati perwira Polwan tersebut juga telah disampaikan ke MUI, para ulama dan DPR RI," ujar polwan itu kepada Ustad Wahfiudin yang kemudian disampaikan kepada Republika, awal Juni lalu.

Sebelumnya, seorang polwan yang berdinas di Polda Jawa Tengah mengeluhkan karena dilarang memakai jilbab saat mengenakan seragam polisi. Bahkan, Kapolri mengeluarkan surat edaran jika pemakaian jilbab dengan seragam dinas polisi hanya diperbolehkan bagi polwan yang berdinas di Polda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Di general information grup tersebut tertulis, jika keinginan para polwan menutup aurat terbentur dengan belum adanya peraturan Kapolri yang mengatur tentang penggunaan seragam polwan berjilbab di luar Polda NAD. Polwan itu juga menyatakan, berjilbab tak mengganggu aktifitas polwan sebagai pelayan masyarakat.

Berjilbab, Pensiun Saja?


Keinginan mulia sejumlah anggota polwan ini rupanya bertepuk sebelah tangan. Bukannya disambut dengan gembira, tetapi malah dilarang. Komentar paling sengit dan menyakitkan keluar dari mulut Wakapolri Komjen Pol Nanan Sukarna. Nanan menegaskan bahwa polisi wanita (Polwan) dilarang mengenakan jilbab. Ia mempersilahkan bagi Polwan yang mengenakan jilbab supaya keluar dari kepolisian atau pensiun.

“Kalau keberatan, kita serahkan kepada yang bersangkutan, pensiun atau memilih tidak menjadi Polwan,” tegas jenderal bintang tiga ini di Mabes Polri seperti dikutip detikcom, Jum’at (14/6/2013).

Aturan ini, menurut Nanan, ada karena kesepakatan internal kepolisian sehingga tidak tertulis. Meski marka tersebut tidak tertulis dan hanya tersirat, namun Polri tegas menuntut anggotanya, khususnya polwan, menjalankan aturan itu. “Tidak boleh melanggar aturan pakaian,” kata Nanan.

Bekas Kapolda Sumut itu mengkhawatirkan, dengan berjilbab pelayanan bisa terkendala. “Jangan sampai pelayanan kepolisian terkendala, sehingga tidak imparsial,” klaimnya.

Melanggar HAM dan Konstitusi

Pernyataan naif Nanan lantas menuai kecaman dari segala penjuru. Tokoh, ulama, politisi dan pejabat tinggi negara turut menyayangkan keluarnya pernyataan itu. Sebaliknya, mereka mendukung pemakaian jilbab oleh polwan.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr Din Syamsuddin, menilai larangan itu sebagai kebijakan yang tidak bijak. Din beralasan, memakai jilbab bagi muslimah adalah bagian dari keyakinan dan pengamalan agama yang dijamin oleh negara. Konstitusi negara, UUD 1945, juga telah memberikan jaminan itu.

"Bisa dianggap kebijakan yang tidak bijak, bertentangan dengan konstitusi dan melanggar HAM," kata Din Syamsuddin. Din bahkan menilai pernyataan Wakapolri itu sangat naif dan nista. "Kita berharap, Kapolri terbuka hatinya,” harapnya.
Ketua umum PBNU, KH Said Aqil Siroj mengatakan kepolisian perlu mengatur pemakaian seragam yang tidak ketat dan menggunakan jilbab, dan anggotanya diberikan pilihan mau menggunakan seragam yang seperti apa. "Seragam polisi dengan jilbab tidak akan mengganggu aktivitas dan pekerjaanya," kata Said Aqil yang juga mewakili ormas-ormas Islam yang tergabung dalam LPOI.

Said Aqil mempertanyakan, jika di luar negeri seperti di Inggris, para Muslimahnya dibolehkan berjilbab ketika bekerja, termasuk polisi, kenapa Polri melarang polwan menutup aurat saat bertugas. "Lalu di Indonesia yang sila pertama dasar negaranya Ketuhanan Yang Maha Esa mengapa tidak boleh?" tuturnya.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Amidhan menyebut Wakapolri menyalahi Undang-undang dan telah melakukan tindakan diskriminatif.

"Itu menyalahi Undang-undang. Karena itu hak menjadi pegawai negeri, duduk di pemerintahanan itu hak hasasi, lebih tegasnya hak konstitusional, karena diatur oleh Undang-undang Dasar kita. Tidak boleh orang dilarang untuk masuk. Itu namanya diskriminatif. Diskriminatif itu pelanggaran HAM," kata Amidhan.
Amidhan menyarankan, supaya aturan Kapolri yang melarang pemakaian jilbab itu diuji materikan ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. “Persoalannya pelarangannya itu," lanjutnya.

Menteri Agama Suryadharma Ali menegaskan tidak boleh ada larangan muslimah berjilbab sama sekali di Indonesia. Kebebasan berjilbab yang sedang diperjuangkan untuk polwan, kata Menag, seharusnya juga diberlakukan untuk semua profesi muslimah.

Menag mengingatkan, jilbab tidak akan mengganggu kinerja Polwan dalam bertugas. Bahkan, kata dia, dengan menggunakan jilbab Polwan muslimah lebih bisa mawas diri akan perilaku dirinya. Sehingga mereka Polwan yang menggunakan jilbab memiliki dua tanggung jawab.

Terkait aturan Kapolri, Ketua DPR Marzuki Alie menegaskan, aturan Kapolri bukanlah ayat dalam kitab suci yang tidak bisa diubah. "SK Kapolri bukan ayat suci, bisa disesuaikan dengan budaya dan adat masyarakat Indonesia, ada kebebasan, sepanjang tidak mengganggu tugas," katanya.

Aturan yang dimaksud adalah SK. Kapolri No.Pol: Skep/702/IX/2005 tentang sebutan, penggunaan pakaian dinas seragam Polri dan PNS Polri tidak memungkinkan polwan - terkecuali yang bertugas di NAD - untuk mengenakan jilbab.

Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifudin meminta Kapolri mencabut aturan yang tidak memperkenankan Polwan mengenakan jilbab. Pasalnya aturan tersebut melanggar hak asasi manusia (HAM).

Menurutnya, tak ada ruginya bagi Polri membolehkan para polwan berjilbab. "Tak ada yang dirugikan dari penggunaan jilbab oleh Polwan di kalangan institusi kepolisian kita," katanya.

Berjilbab, kata Lukman, tidak akan mempengaruhi kinerja para polwan. Lukman percaya kinerja, kedisiplinan, dan keserasian anggota Polri akan tetap terjaga meski berjilbab. Hal ini sudah banyak dibuktikan instansi/lembaga pemerintahan yang membolehkan jilbab. "Itu sama sekali tak membawa dampak negatif apapun," ujarnya.

Menghadapi gempuran opini  yang demikian massif, belakangan, Polri rupanya mengalah. Setelah dicecar Komisi III DPR dalam rapat dengar pendapat (RDP), Selasa (18/6/2013), akhirnya kepolisian memastikan diri akan melegalkan penggunaan jilbab bagi anggotanya di seluruh Indonesia. Pernyataan itu langsung dituturkan oleh Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo.

Timur bahkan berujar sebetulnya dia sangat senang dengan permintaan sejumlah keinginan polwan berjilbab yang kini mengemuka. Dia berkata, permintaan tersebut sudah dengan senang hati Polri terima dan pertimbangkan.

Timur mengatakan, dalam waktu dekat segala tuntutan mengenai jilbab akan segera masuk ke dalam agenda diskusi internal Polri. Dia berujar, aturan mengenai jilbab ini amat perlu dikonsepkan dengan tepat. Sehingga nantinya aturan ini tidak menimbukan polemik baru di kemudian hari.

[shodiq ramadhan, dari berbagai sumber]

Selalu Tendensius Beritakan FPI, Habib Rizieq Ancam Meja Hijaukan Republika

Jakarta (SI Online) - Sejak Front Pembela Islam (FPI) memprotes Erick Tohir yang memproduseri Film Liberal "?", Republika selalu tendensius dalam pemberitaan terkait FPI. Termasuk soal Kasus Kendal dan Lamongan. Demikian pernyataan ketua umum FPI, Habib Muhammad Rizieq Syihab yang diterima Suara Islam Online, Selasa (13/8/2013). 

Habib Rizieq memperingatkan Republika agar berhati-hati menurunkan berita tentang FPI. "Jangan ikut-ikutan memfitnah FPI, atau sebaiknya jangan memberitakan FPI sama sekali, karena FPI memang tidak butuh Republika, daripada nanti FPI memeja-hijaukan Republika," tegas Habib.

Terkait insiden di Lamongan, ketua umum FPI ini juga menegaskan bahwa secara organisasi FPI di Lamongan sudah tidak ada dan tidak terkait dengan peristiwa tersebut. FPI Lamongan bukan hanya ditegur pada Tahun 2008, tapi sudah dibekukan oleh DPP FPI pada Tahun 2010. 

"Kalau mau turunkan berita tentang FPI, wajib Tabayyun (kroscek) dulu ke FPI, atau memang Republika sudah menjadi media liberal karena dipimpin Erick Tohir???" ujar Habib Rizieq.

"Ingat, Republika didirikan dengan uang umat bukan uang Erick Tohir!!! Harap disampaikan ke semua jajaran pimpinan Republika," pesannya. 

Selain itu, untuk mengklarifikasi, Habib Rizieq juga menambahkan dengan pernyataan sikap DPD FPI Jatim terkait insiden Lamongan, berikut ini pernyataan sikapnya:

Pertama, bahwa sejak pelantikan pengurus baru DPD FPI Jatim dan DPW FPI Se-Jatim oleh DPP FPI pada tahun 2010 bahwasanya DPW FPI Lamongan tidak termasuk yang dilantik.

Kedua, bahwa DPW FPI Lamongan sejak tiga tahun lalu telah DIBEKUKAN oleh DPP FPI atas permintaan DPD FPI Jatim akibat tidak disiplin dan menganggap DPP FPI sebagai Thogut karena tunduk kepada hukum negara.

Dan yang ketiga, bahwa peristiwa Lamongan adalah murni peristiwa bentrokan antara dua kelompok masyarakat yang tidak ada kaitan dengan FPI mana pun.


red: syaiful

JK Serukan Shalat Ghaib Doakan Umat Islam di Mesir

Jakarta (SI Online) - Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia, Jusuf Kalla (JK) prihatin dengan kondisi yang terjadi di Mesir saat ini. JK meminta umat Islam di Indonesia turut mendoakan para demonstran yang menjadi korban dengan menggelar shalat ghaib.

"Meminta seluruh masjid dan mushalla di Indonesia pada hari Jumat (16/8/2013) untuk menggelar shalat gaib dan mendoakan para korban dalam aksi unjuk rasa di Mesir," kata JK dalam siaran pers seperti dikutip detik.com, Kamis (15/8/2013).

Mantan Wakil Presiden RI ini berharap mahasiswa Indonesia tak ada yang menjadi korban. Dia meminta umat Islam juga berdoa untuk keselamatan WNI di negara firaun itu.

"Meminta agar seluruh masjid mendoakan keselamatan pelajar dan warga Indonesia yang menetap di Mesir," ujarnya.

Dalam berita Suara Islam Online sebelumnya, aksi bengis Militer Mesir selama delapan jam membantai pendukung Presiden Muhammad Mursi mengakibatkan jumlah tewas mencapai 4500 orang. Data jumlah korban meninggal itu terkonfirmasi sampai Kamis siang (15/8/2013) pukul 13.00 WIB. Data jumlah korban meninggal itu disampaikan Juru Bicara Ikhwanul Muslimin (IM), Gehad El-Haddad.

"Jumlah total korban yang meninggal mencapai lebih dari 4.500 sampai sekarang. Hingga saat ini masih dilakukan penghitungan & identifikasi terus menerus yang berlangsung di 3 masjid, 3 rumah sakit, dan 2 rumah jenazah," kata Gehad El-Haddad.


red: syaiful

Ingin Hilangkan Barang Bukti, Polisi Mesir Ambil Alih Masjid Nurul Iman Beserta Mayat Pendukung Mursi

Kairo (SI Online) - Polisi Mesir pada Kamis menduduki Masjid Nurul Iman di Kairo yang berisi ratusan mayat para demonstran Ikhwanul Muslimin yang dibunuh setelah terjadi ketegangan singkat saat mereka menembakkan gas air mata, kata para aktivis Islam.

"Mereka mengepung masjid dan menembakkan gas air mata di luarnya. Mereka sekarang memasuki (masjid) dan kami pergi," kata Ibrahim, seorang petugas medis lapangan yang berada di dalam masjid.

Lebih dari 200 ratus mayat menurut kelompok Islamis masih berada di sana akibat aksi penumpasan polisi dan militer Rabu telah dibawa keluar pada pagi hari itu, kata Ibrahim. Demikian diberitakan AFP.

"Masih ada 43 mayat lagi tetapi kami tidak dapat mengidentifikasi mereka," katanya.

Siaran langsung yang ditayangkan di stasiun televisi swasta Mesir CBC menunjukkan polisi berada di dalam masjid.

"Ada 300 mayat di Masjid Iman, 14 lagi di Kamar Mayat Zinhom, tiga mayat tak dikenal di Rumah Sakit Heliopolis, empat di Rumah Sakit One-Day Surgery, 43 mayat di Rumah Sakit Medical Insurance dan 190 mayat di Rumah Sakit Nasser Institute, semuanya di Kairo," kata Samar Suweilam, ahli bedah di Qasr Al-Aini, rumah sakit umum terbesar di Kairo, kepada Xinhua di Masjid Iman.

Di Masjid itu, puluhan mayat yang ditutupi kain berjajar menunggu dimakamkan.

Sementara itu Ikhwanul Muslimin, kubu asal Mursi, menyatakan tak kurang dari 4.500 pemrotes pro-Moursi tewas dalam pembubaran oleh pasukan keamanan, sementara pengikutnya telah mulai berkumpul di tempat lain di kota tersebut dan menghalangi jalan.

red: abu faza/dbs

Tragedi Pembantaian di Mesir, 2.200 Tewas Puluhan Ribu Luka-luka

Kairo (SI Online) - Kekhawatiran yang dirasakan oleh dunia internasional terhadap rencana pembersihan bunderan Rab’ah Adawiyah, Nahdah dan tempat-tempat lainnya di seantaro Mesir oleh militer Mesir, akhirnya terjadi juga. Peristiwa terburuk dalam sejarah modern Mesir ini betul-betul sangat menyayat hati. Hanya dalam durasi waktu tujuh jam saja serdadu Jenderal Al Sisi berhasil membantai rakyat Mesir hingga ribuan rakyat Mesir tewas.

Rabu (14/08/13) dari Yahya Makkiya, koordinator rumah sakit Al-Maidani di Rabiah al Adawiya, mengumumkan meningkatnya angka kematian paling sedikit korban mencapai 2200 orang yang gugur dan 10 ribu lebih yang luka-luka.

Sebuah pembantaian secara biadab dan keji yang dilaukan oleh militer terhadap aksi damai yang dilakukan oleh rakyat Mesir. Ini sangat tragis. Tetapi, tidak membuat para pendukung Presiden Mursi menyerah, dan mereka akan tetap melakukan aksi menentang rezim.

Dari informasi yang ditayangkan secara live oleh Aljazeera TV. Operasi pembantaian tersebut mulai dilancarkan sejak  jam 06.30 waktu Kairo. Yaitu dengan mengerahkan mobil keamanan dan militer ke arah bunderan Rab’ah dan Nahdah. Kemudian operasi meningkat dengan menyemprotkan berbagai jenis gas ke dalam kerumunan massa pro legitimasi. Puncaknya adalah melepaskan peluru tajam baik dari darat maupun udara dengan menggunakan heli militer. Akhirnya, jatuhnya korban ribuan jiwa pun sudah tidak dapat dihindari lagi.



red: syaiful

Ustadz Arifin Ilham: Saya Mencintai Habib Rizieq Syihab

Jakarta – KabarNet: Pimpipnan Majlis Dzikir Adz Dzikra ustadz Arifin Ilham memuji dan mendukung cara amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukan oleh Front Pembela Islam. Dia percaya, FPI tentunya dalam melakukan aktivitasnya sudah melakukan  dengan cara yang baik dan bijak.
Seperti dengan hikmah melalui musyawarah, izin dan pemberitahuan kepada aparat kepolisian, dan tiga kali peringatan kepada pelaku maksiat. Serta dengan menggunakan atribut pakaian & organisasi yang jelas terdaftar legal ketika bergerak. Ketika semua itu diabaikan maka tindakan tegas sebagai konsekwensi dakwah dan jihad akan terjadi mengalir lagi terukur.
Ustadz Arifin mengkritik keberadaan tempat-tempat maksiat di negeri ini yang dilindungi oleh oknum aparat berseragam dan media massa yang dikendalikan oleh manusia sekuler. “Sungguh sudah rahasia umum di negeri ini tempat-tempat maksiat & program kemungkaran seperti pornografi, perizinan minuman keras, judi dan sebagainya selalu dibekingi preman, oknum pejabat dan  media sekuler,” urai ustadz bersuara serak-serak basah ini Jumat (26/7/2013).
Lengkap sudah beking tempat maksiat itu. Ketika oknum pejabat, aparat, preman dan media sekuler menjadi beking tempat maksiat. Muncul di pemberitaan tidak seimbang, FPI tersudut sebagai kelompok anarkis, intoleran preman berjubah dan sterusnya. “Lihatlah di media, siapa yang ingin membubarkan FPI? Kebebasan macam apa yang diinginkan?” tanya ustadz Arifin kritis.
Bahaya yang akan menimpa umat ini akan terjadi seperti umat-umat terdahulu yang durhaka kepada Allah Ta’ala juga diingatkan oleh ustadz Arifin Ilham. “Ingat! Kalau maksiat dan  kemungkaran dibiarkan merajalela “fahaaqqo alaihal qoul” adzab Allah akan turun sebagaimana minimpa kaum Aad, Tsamud, kaum homo dan sebagainya (lihat: QS Bani Isroil 17 :16-17),” demikian ustadz Arifin mengingatkan.
Ustadz Arifin Ilham mengatakan bahwa dirinya mendukung sepenuhnya Habib Rizieq. Dia siap sebagai satu tubuh Mukmin dengan Habib Rizieq dalam menerima resiko perjuangan dakwah dan jihad. “Saya Muhammad Arifin Ilham mencintai Habib Rizieq Syihab dengan segala konsekwensi,” tegas ustadz Arifin, Jum’at (26/7/2013).
Dia mengutip sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam “Al Mu’min kaljasadilwahidi” orang beriman itu bagaikan satu tubuh, bila satu anggota tubuhnya disakiti maka anggota tubuh lainnyapun merasakan sakit.”
Ustadz Arifin Ilham memuji Front Pembela Islam yang telah bertindak sebagai tangan dalam operasional nahi munkar. “FPI dalam tubuh umat Islam Indonesia laksana tangan, inilah dakwah termulia,” urainya.
Sebagaimana, kata ustadz Arifin, Rasulullah mengajarkan, bila kalian melihat kemungkaran maka perbaikilah dengan tangan kalian, kalau tidak mampu maka dengan lisan kalian, kalau tidak mampu maka dengan hati kalian, itulah selemah-lemahnya iman.
SOLUSI ISLAM
Akhirnya ustadz Arifin memberikan solusi Islam dengan kata-kata yang cukup bijak dan lugas lagi menghujam agar dicamkan semua pihak khususnya rezim negeri ini, hari ini, kini dan di sini.
Ustadz Arifin Ilham: “SIAPA YANG CINTA ALLAH DAN NEGERI INI TIDAK BOLEH DIAM HARUS DAKWAH DAN JIHAD DENGAN SEGALA RESIKONYA, DAN KALIAN JANGAN DIAM, HIDUP INI PILIHAN YANG KONSEKWENSI DI AKHIRAT NANTI. ALLAH MENGUMPULKAN KELOMPOK MANUSIA DAN JIN DI AKHIRAT NANTI BERSAMA SIAPA YG MEREKA CINTAI. APAKAH KALIAN INGIN BERKUMPUL DENGAN MEREKA PARA PENDUKUNG MAKSIAT DAN KEMUNGKARAN ITU, DENGAN DALIH HAK ASASI MANUSIA, YANG SEBENARNYA MEREKALAH YANG MENGHANCURKAN HAK MORAL GENERASI BANGSA INI, NO WAY,”… [KbrNet/Slm]
Source: Arrahmah.com

Sejarah Lepasnya Timor Timur Yang tak Pernah Terungkap

MENIT-MENIT LEPASNYA TIMOR-TIMUR DARI INDONESIA

Berikut ini adalah tulisan seorang wartawan yang meliput jajak pendapat di Dili, Timor-timur. Tulisan berikut ini sungguh luar biasa, namun sekaligus membuat dada sesak.

Ditulis oleh Kafil Yamin, wartawan kantor berita The IPS Asia-Pacific, Bangkok, yang dikirim ke Timor Timur pada tanggal 28 Agustus 1999 untuk meliput ‘Jajak Pendapat Timor-Timur’ yang diselenggarakan UNAMET [United Nations Mission in East Timor], 30 Agustus 1999. Judul asli dari tulisan ini adalah Menit-Menit yang Luput dari Catatan Sejarah Indonesia. Saya sengaja ubah judulnya dengan maksud agar lebih jelas mengenai apa yang terkandung dalam tulisan tersebut. 

MENIT-MENIT YANG LUPUT DARI CATATAN SEJARAH INDONESIA

Oleh: Kafil Yamin
Jajak pendapat itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah referendum, adalah buah dari berbagai tekanan internasioal kepada Indonesia yang sudah timbul sejak keruntuhan Uni Soviet tahun 1989. Belakangan tekanan itu makin menguat dan menyusahkan Indonesia. Ketika krisis moneter menghantam negara-negara Asia Tenggara selama tahun 1997-1999, Indonesia terkena. Guncangan ekonomi sedemikian hebat; berimbas pada stabilitas politik; dan terjadilah jajak pendapat itu.
Kebangkrutan ekonomi Indonesia dimanfaatkan oleh pihak Barat, melalui IMF dan Bank Dunia, untuk menekan Indonesia supaya melepas Timor Timur. IMF dan Bank Dunia bersedia membantu Indonesia lewat paket yang disebut bailout, sebesar US$43 milyar, asal Indonesia melepas Timtim.
Apa artinya ini? Artinya keputusan sudah dibuat sebelum jajak pendapat itu dilaksanakan. Artinya bahwa jajak pendapat itu sekedar formalitas. Namun meski itu formalitas, toh keadaan di kota Dili sejak menjelang pelaksanan jajak pendapat itu sudah ramai nian. Panita jajak pendapat didominasi bule Australia dan Portugis. Wartawan asing berdatangan. Para pegiat LSM pemantau jajak pendapat, lokal dan asing, menyemarakkan pula – untuk sebuah sandiwara besar. Hebat bukan?
Sekitar Jam 1 siang, tanggal 28 Agustus 1999, saya mendarat di Dili. Matahari mengangkang di tengah langit. Begitu menyimpan barang-barang di penginapan [kalau tidak salah, nama penginapannya Dahlia, milik orang Makassar], saya keliling kota Dili. Siapapun yang berada di sana ketika itu, akan berkesimpulan sama dengan saya: kota Dili didominasi kaum pro-integrasi. Mencari orang Timtim yang pro-kemerdekaan untuk saya wawancarai, tak semudah mencari orang yang pro-integrasi.
Penasaran, saya pun keluyuran keluar kota Dili, sampai ke Ainaro dan Liquica, sekitar 60 km dari Dili. Kesannya sama: lebih banyak orang-orang pro-integrasi. Di banyak tempat, banyak para pemuda-pemudi Timtim mengenakan kaos bertuliskan Mahidi [Mati-Hidup Demi Integrasi], Gadapaksi [Garda Muda Penegak Integrasi], BMP [Besi Merah Putih], Aitarak [Duri].
Setelah seharian berkeliling, saya berkesimpulan Timor Timur akan tetap bersama Indonesia. Bukan hanya dalam potensi suara, tapi dalam hal budaya, ekonomi, sosial, tidak mudah membayangkan Timor Timur bisa benar-benar terpisah dari Indonesia. Semua orang Timtim kebanyakan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Para penyedia barang-barang kebutuhan di pasar-pasar adalah orang Indonesia. Banyak pemuda-pemudi Timtim yang belajar di sekolah dan universitas Indonesia, hampir semuanya dibiayai pemerintah Indonesia. Guru-guru di sekolah-sekolah Timtim pun kebanyakan orang Indonesia, demikian juga para petugas kesehatan, dokter, mantri.
Selepas magrib, 28 Agustus 1999, setelah mandi dan makan, saya duduk di lobi penginapan, minum kopi dan merokok. Tak lama kemudian, seorang lelaki berusia 50an, tapi masih terlihat gagah, berambut gondrong, berbadan atletis, berjalan ke arah tempat duduk saya; duduk dekat saya dan mengeluarkan rokok. Rupanya ia pun hendak menikmati rokok dan kopi.
Mungkin karena dipersatukan oleh kedua barang beracun itu, kami cepat akrab. Dia menyapa duluan: “Dari mana?” sapanya.
“Dari Jakarta,” jawabku, sekalian menjelaskan bahwa saya wartawan, hendak meliput jajak pendapat.
Entah kenapa, masing-masing kami cepat larut dalam obrolan. Dia tak ragu mengungkapkan dirinya. Dia adalah mantan panglima pasukan pro-integrasi, yang tak pernah surut semangatnya memerangi Fretilin [organisasi pro-kemerdekaan], “karena bersama Portugis, mereka membantai keluarga saya,” katanya. Suaranya dalam, dengan tekanan emosi yg terkendali. Terkesan kuat dia lelaki matang yang telah banyak makan asam garam kehidupan. Tebaran uban di rambut gondrongnya menguatkan kesan kematangan itu.
“Panggil saja saya Laffae,” katanya.
“Itu nama Timor atau Portugis?” Saya penasaran.
“Timor. Itu julukan dari kawan maupun lawan. Artinya ‘buaya’,” jelasnya lagi.
Julukan itu muncul karena sebagai komandan milisi, dia dan pasukannya sering tak terdeteksi lawan. Setelah lawan merasa aman, tiba-tiba dia bisa muncul di tengah pasukan lawannya dan melahap semua yang ada di situ. Nah, menurut anak buah maupun musuhnya, keahlian seperti itu dimiliki buaya.
Dia pun bercerita bahwa dia lebih banyak hidup di hutan, tapi telah mendidik, melatih banyak orang dalam berpolitik dan berorganisasi. “Banyak binaan saya yang sudah jadi pejabat,” katanya. Dia pun menyebut sejumlah nama tokoh dan pejabat militer Indonesia yang sering berhubungan dengannya.
Rupanya dia seorang tokoh. Memang, dilihat dari tongkrongannya, tampak sekali dia seorang petempur senior. Saya teringat tokoh pejuang Kuba, Che Guevara. Hanya saja ukuran badannya lebih kecil.
“Kalau dengan Eurico Guterres? Sering berhubungan?” saya penasaran.
“Dia keponakan saya,” jawab Laffae. “Kalau ketemu, salam saja dari saya.”
Cukup lama kami mengobrol. Dia menguasai betul sejarah dan politik Timtim dan saya sangat menikmatinya. Obrolan usai karena kantuk kian menyerang.
Orang ini menancapkan kesan kuat dalam diri saya. Sebagai wartawan, saya telah bertemu, berbicara dengan banyak orang, dari pedagang kaki lima sampai menteri, dari germo sampai kyai, kebanyakan sudah lupa. Tapi orang ini, sampai sekarang, saya masih ingat jelas.
Sambil berjalan menuju kamar, pikiran bertanya-tanya: kalau dia seorang tokoh, kenapa saya tak pernah mendengar namanya dan melihatnya? Seperti saya mengenal Eurico Gueterres, Taur Matan Ruak? Xanana Gusmao? Dan lain-lain? Tapi sudahlah.
Pagi tanggal 29 Agustus 1999. Saya keluar penginapan hendak memantau situasi. Hari itu saya harus kirim laporan ke Bangkok. Namun sebelum keliling saya mencari rumah makan untuk sarapan. Kebetulan lewat satu rumah makan yang cukup nyaman. Segera saya masuk dan duduk. Eh, di meja sana saya melihat Laffae sedang dikelilingi 4-5 orang, semuanya berseragam Pemda setempat. Saya tambah yakin dia memang orang penting – tapi misterius.
Setelah bubar, saya tanya Laffae siapa orang-orang itu. “Yang satu Bupati Los Palos, yang satu Bupati Ainaro, yang dua lagi pejabat kejaksaan,” katanya. “Mereka minta nasihat saya soal keadaan sekarang ini,” tambahnya.
Kalau kita ketemu Laffae di jalan, kita akan melihatnya ‘bukan siapa-siapa’. Pakaiannya sangat sederhana. Rambutnya terurai tak terurus. Dan kalau kita belum ‘masuk’, dia nampak pendiam.
Saya lanjut keliling. Kota Dili makin semarak oleh kesibukan orang-orang asing. Terlihat polisi dan tentara UNAMET berjaga-jaga di setiap sudut kota. Saya pun mulai sibuk, sedikitnya ada tiga konferensi pers di tempat yang berbeda. Belum lagi kejadian-kejadian tertentu. Seorang teman wartawan dari majalah Tempo, Prabandari, selalu memberi tahu saya peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Dari berbagai peristiwa itu, yang menonjol adalah laporan dan kejadian tentang kecurangan panitia penyelenggara, yaitu UNAMET. Yang paling banyak dikeluhkan adalah bahwa UNAMET hanya merekrut orang-orang pro-kemerdekaan di kepanitiaan. Klaim ini terbukti. Saya mengunjungi hampir semua TPS terdekat, tidak ada orang pro-integrasi yang dilibatkan.
Yang bikin suasana panas di kota yang sudah panas itu adalah sikap polisi-polisi UNAMET yang tidak mengizinkan pemantau dan pengawas dari kaum pro-integrasi, bahkan untuk sekedar mendekat. Paling dekat dari jarak 200 meter. Tapi pemantau-pemantau bule bisa masuk ke sektratriat. Bahkan ikut mengetik!
Di sini saya perlu mengungkapkan ukuran mental orang-orang LSM dari Indonesia, yang kebanyakan mendukung kemerdekaan Timtim karena didanai asing. Mereka tak berani mendekat ke TPS dan sekretariat, baru ditunjuk polisi UNAMET saja langsung mundur. Tapi kepada pejabat-pejabat Indonesia mereka sangat galak: menuding, menuduh, menghujat. Berani melawan polisi. Di hadapan polisi bule mereka mendadak jadi inlander betulan.
Tambah kisruh adalah banyak orang-orang pro-integrasi tak terdaftar sebagai pemilih. Dari 4 konferensi pers, 3 di antaranya adalah tentang ungkapan soal ini. Bahkan anak-anak Mahidi mengangkut segerombolan orang tua yang ditolak mendaftar pemilih karena dikenal sebagai pendukung integrasi.
Saya pun harus mengungkapkan ukuran mental wartawan-wartawan Indonesia di sini. Siang menjelang sore, UNAMET menyelenggarakan konferensi pers di Dili tentang rencana penyelenggaraan jajak pendapat besok. Saya tentu hadir. Lebih banyak wartawan asing daripada wartawan Indonesia. Saya yakin wartawan-wartawan Indonesia tahu kecurangan-kecurangan itu.
Saat tanya jawab, tidak ada wartawan Indonesia mempertanyakan soal praktik tidak fair itu. Bahkan sekedar bertanya pun tidak. Hanya saya yang bertanya tentang itu. Jawabannya tidak jelas. Pertanyaan didominasi wartawan-wartawan bule.
Tapi saya ingat betapa galaknya wartawan-wartawan Indonesia kalau mewawancarai pejabat Indonesia terkait dengan HAM atau praktik-praktik kecurangan. Hambatan bahasa tidak bisa jadi alasan karena cukup banyak wartawan Indonesia yang bisa bahasa Inggris. Saya kira sebab utamanya rendah diri, seperti sikap para aktifis LSM lokal tadi.
Setelah konferensi pers usai, sekitar 2 jam saya habiskan untuk menulis laporan. Isi utamanya tentang praktik-praktik kecurangan itu. Selain wawancara, saya juga melengkapinya dengan pemantauan langsung.
Kira-kira 2 jam setelah saya kirim, editor di Bangkok menelepon. Saya masih ingat persis dialognya:
“Kafil, we can’t run the story,” katanya.
“What do you mean? You send me here. I do the job, and you don’t run the story?” saya berreaksi.
“We can’t say the UNAMET is cheating…” katanya.
“That’s what I saw. That’s the fact. You want me to lie?” saya agak emosi.
“Do they [pro-integrasi] say all this thing because they know they are going to loose?”
“Well, that’s your interpretation. I’ll make it simple. I wrote what I had to and it’s up to you,”
“I think we still can run the story but we should change it.”
“ I leave it to you,” saya menutup pembicaraan.
Saya merasa tak nyaman. Namun saya kemudian bisa maklum karena teringat bahwa IPS Asia-Pacific itu antara lain didanai PBB.
***
Kira-kira jam 5:30 sore, 29 Agustus 199, saya tiba di penginapan. Lagi-lagi, Laffae sedang dikerumuni tokoh-tokoh pro-integrasi Timtim. Terlihat Armindo Soares, Basilio Araujo, Hermenio da Costa, Nemecio Lopes de Carvalho, nampaknya mereka sedang membicarakan berbagai kecurangan UNAMET.
Makin malam, makin banyak orang berdatangan. Orang-orang tua, orang-orang muda, tampaknya dari tempat jauh di luar kota Dili. Kelihatan sekali mereka baru menempuh perjalanan jauh.
Seorang perempuan muda, cukup manis, tampaknya aktifis organisasi, terlihat sibuk mengatur rombongan itu. Saya tanya dia siapa orang-orang ini.
“Mereka saya bawa ke sini karena di desanya tidak terdaftar,” katanya. “Mereka mau saya ajak ke sini. Bahkan mereka sendiri ingin. Agar bisa memilih di sini. Tidak ada yang membiayai. Demi merah putih,” jawabnya bersemangat.
Saya tergetar mendengar bagian kalimat itu: “…demi merah putih.”
Mereka semua ngobrol sampai larut. Saya tak tahan. Masuk kamar. Tidur. Besok jajak pendapat.
Pagi 30 Agustus 1999. Saya keliling Dili ke tempat-tempat pemungutan suara. Di tiap TPS, para pemilih antri berjajar. Saya bisa berdiri dekat dengan antrean-antrean itu. Para ‘pemantau’ tak berani mendekat karena diusir polisi UNAMET.
Karena dekat, saya bisa melihat dan mendengar bule-bule Australia yang sepertinya sedang mengatur barisan padahal sedang kampanye kasar. Kebetulan mereka bisa bahasa Indonesia: “Ingat, pilih kemerdekaan ya!” teriak seorang cewek bule kepada sekelompok orang tua yang sedang antre. Bule-bule yang lain juga melakukan hal yang sama.
Sejenak saya heran dengan kelakuan mereka. Yang sering mengampanyekan kejujuran, hak menentukan nasib sendiri. Munafik, pikir saya. Mereka cukup tak tahu malu.
Setelah memantau 4-5 TPS saya segera mencari tempat untuk menulis. Saya harus kirim laporan. Setelah mengirim laporan. Saya manfaat waktu untuk rileks, mencari tempat yang nyaman, melonggarkan otot. Toh kerja hari itu sudah selesai.
Sampailah saya di pantai agak ke Timur, di mana patung ‘KEKAFIRAN’ Bunda Maria berdiri menghadap laut, seperti sedang mendaulat ombak samudra. Patung itu bediri di puncak bukit. Sangat besar. Dikelilingi taman dan bangunan indah. Untuk mencapai patung ‘KEKAFIRAN’ itu, anda akan melewati trap tembok yang cukup landai dan lebar. Sangat nyaman untuk jalan berombongan sekali pun. Sepanjang trap didindingi bukit yang dilapisi batu pualam. Di setiap kira jarak 10 meter, di dinding terpajang relief dari tembaga tentang Yesus, Bunda Maria, murid-murid Yesus, dengan ukiran yang sangat bermutu tinggi. Sangat indah.
Patung ‘KEKAFIRAN’ dan semua fasilitasnya ini dibangun pemerintah Indonesia. Pasti dengan biaya sangat mahal. Ya, itulah biaya politik.
Tak terasa hari mulai redup. Saya harus pulang. Besok pengumuman hasil jajak pendapat.
Selepas magrib, 30 September 1999. Kembali saya menunaikan kewajiban yang diperintahkan oleh kebiasaan buruk: merokok sambil minum kopi di lobi penginapan. Kali ini, Laffae mendahului saya. Dia sudah duluan mengepulkan baris demi baris asap dari hidung dan mulutnya. Kami ngobrol lagi.
Tapi kali ini saya tidak leluasa. Karena banyak tamu yang menemui Laffae, kebanyakan pentolan-pentolan milisi pro-integrasi. Ditambah penginapan kian sesak. Beberapa pemantau nginap di situ. Ada juga polisi UNAMET perwakilan dari Pakistan.
Ada seorang perempuan keluar kamar, melihat dengan pandangan ‘meminta’ ke arah saya dan Laffae. Kami tidak mengerti maksudnya. Baru tau setelah lelaki pendampingnya bilang dia tak kuat asap rokok. Laffae lantas bilang ke orang itu kenapa dia jadi pemantau kalau tak kuat asap rokok. Kami berdua terus melanjutkan kewajiban dengan racun itu. Beberapa menit kemudian cewek itu pingsan dan dibawa ke klinik terdekat.
Saya masuk kamar lebih cepat. Tidur.
Pagi, 4 September 1999. Pengumuman hasil jajak pendapat di hotel Turismo Dili. Bagi saya, hasilnya sangat mengagetkan: 344.508 suara untuk kemerdekaan, 94.388 untuk integrasi, atau 78,5persen berbanding 21,5persen.
Ketua panitia mengumumkan hasil ini dengan penuh senyum, seakan baru dapat rezeki nomplok. Tak banyak tanya jawab setelah itu. Saya pun segera berlari mencari tempat untuk menulis laporan. Setelah selesai, saya balik ke penginapan.
Di lobi, Laffae sedang menonton teve yang menyiarkan hasil jajak pendapat. Sendirian. Saat saya mendekat, wajahnya berurai air mata. “Tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Mereka curang..” katanya tersedu. Dia merangkul saya. Lelaki pejuang, tegar, matang ini mendadak luluh. Saya tak punya kata apapun untuk menghiburnya. Lagi pula, mata saya saya malah berkaca-kaca, terharu membayangkan apa yang dirasakan lelaki ini. Perjuangan keras sepanjang hidupnya berakhir dengan kekalahan.
Saya hanya bisa diam. Dan Laffae pun nampaknya tak mau kesedihannya terlihat orang lain. Setelah beberapa jenak ia berhasil bersikap normal.
“Kota Dili ini akan kosong..” katanya. Pelan tapi dalam. “Setelah kosong, UNAMET mau apa.”
Telepon berbunyi, dari Prabandari Tempo. Dia memberi tahu semua wartawan Indonesia segera dievakuasi pakai pesawat militer Hercules, karena akan ada penyisiran terhadap semua wartawan Indonesia. Saya diminta segera ke bandara saat itu juga. Kalau tidak, militer tidak bertanggung jawab. Semua wartawan Indonesia sudah berkumpul di bandara, tinggal saya. Hanya butuh lima menit bagi saya untuk memutuskan tidak ikut. “Saya bertahan, nDari. Tinggalkan saja saya.”
Laffae menguping pembicaraan. Dia menimpali: “Kenapa wartawan kesini kalau ada kejadian malah lari?” katanya. Saya kira lebih benar dia mikirnya.
Saya lantas keluar, melakukan berbagai wawancara, menghadiri konferensi pers, kebanyakan tentang kemarahan atas kecurangan UNAMET. “Anggota Mahidi saja ada 50 ribu; belum Gardapaksi, belum BMP, belum Halilintar, belum masyarakat yang tak ikut organisasi,” kata Nemecio Lopez, komandan milisi Mahidi.
Kembali ke penginapan sore, Laffae sedang menghadapi tamu 4-5 orang pentolan pro-integrasi. Dia menengok ke arah saya: “Kafil! Mari sini,” mengajak saya bergabung.
“Sebentar!” saya bersemangat. Saya tak boleh lewatkan ini. Setelah menyimpan barang-barang di kamar, mandi kilat. Saya bergabung. Di situ saya hanya mendengarkan. Ya, hanya mendengarkan.
“Paling-paling kita bisa siapkan seribuan orang,” kata ketua Armindo Soares, saya bertemu dengannya berkali-kali selama peliputan.
“Saya perlu lima ribu,” kata Laffae.
“Ya, lima ribu baru cukup untuk mengguncangkan kota Dili,” katanya, sambil menengok ke arah saya.
“Kita akan usahakan,” kata Armindo.
Saya belum bisa menangkap jelas pembicaraan mereka ketika seorang kawan memberitahu ada konferensi pers di kediaman Gubernur Abilio Soares. Saya segera siap-siap berangkat ke sana. Sekitar jam 7 malam, saya sampai di rumah Gubernur. Rupanya ada perjamuan. Cukup banyak tamu. Soares berbicara kepada wartawan tentang penolakannya terhadap hasil jajak pendapat karena berbagai kecurangan yang tidak bisa dimaklumi.
Setelah ikut makan enak, saya pulang ke penginapan sekitar jam 8:30 malam. Sudah rindu bersantai dengan Laffae sambil ditemani nikotin dan kafein. Tapi Laffae tidak ada. Anehnya, penginapan jadi agak sepi. Para pemantau sudah check-out, juga polisi-polisi UNAMET dari Pakistan itu. Tak banyak yang bisa dilakukan kecuali tidur.
Namun saat rebah, kantuk susah datang karena terdengar suara-suara tembakan. Mula-mula terdengar jauh. Tapi makin lama makin terdengar lebih dekat dan frekuensi tembakannya lebih sering. Mungkin karena perut kenyang dan badan capek, saya tertidur juga.
Tanggal 5 September pagi, sekitar jam 09:00, saya keluar penginapan. Kota Dili jauh lebi lengang. Hanya terlihat kendaran-kendaraan UNAMET melintas di jalan. Tak ada lagi kendaraan umum. Tapi saya harus keluar. Apa boleh buat – jalan kaki. Makin jauh berjalan makin sepi, tapi tembakan nyaris terdengar dari segala arah. Sesiang ini, Dili sudah mencekam.
Tidak ada warung atau toko buka. Perut sudah menagih keras. Apa boleh buat saya berjalan menuju hotel Turismo, hanya di hotel besar ada makanan. Tapi segera setelah itu saya kembali ke penginapan. Tidak banyak yang bisa dikerjakan hari itu.
Selepas magrib 5 Setember 1999. Saya sendirian di penginapan. Lapar. Tidak ada makanan. Dili sudah seratus persen mencekam. Bunyi tembakan tak henti-henti. Terdorong rasa lapar yang sangat, saya keluar penginapan.
Selain mencekam. Gelap pula. Hanya di tempat-tempat tertentu lampu menyala. Baru kira-kira 20 meter berjalan, gelegar tembakan dari arah kanan. Berhenti. Jalan lagi. Tembakan lagi dari arah kiri. Tiap berhenti ada tarikan dua arah dari dalam diri: kembali atau terus. Entah kenapa, saya selalu memilih terus, karena untuk balik sudah terlanjur jauh. Saya berjalan sendirian; dalam gelap; ditaburi bunyi tembakan. Hati dipenuhi adonan tiga unsur: lapar, takut, dan perjuangan menundukkan rasa takut. Lagi pula, saya tak tau ke arah mana saya berjalan. Kepalang basah, pokoknya jalan terus.
Sekitar jam 11 malam, tanpa disengaja, kaki sampai di pelabuhan Dili. Lumayan terang oleh lampu pelabuhan. Segera rasa takut hilang karena di sana banyak sekali orang. Mereka duduk, bergeletak di atas aspal atau tanah pelabuhan. Rupanya, mereka hendak mengungsi via kapal laut.
Banyak di antara mereka yang sedang makan nasi bungkus bersama. Dalam suasa begini, malu dan segan saya buang ke tengah laut. Saya minta makan! “Ikut makan ya?” kata saya kepada serombongan keluarga yang sedang makan bersama. “Silahkan bang!.. silahkan!..” si bapak tampak senang. Tunggu apa lagi, segera saya ambil nasinya, sambar ikannya. Cepat sekali saya makan. Kenyang sudah, sehingga ada tenaga untuk kurang ajar lebih jauh: sekalian minta rokok ke bapak itu. Dikasih juga.
Sekitar jam 3 malam saya berhasil kembali ke penginapan.
Pagi menjelang siang, tanggal 6 September 1999. Saya hanya duduk di lobi penginapan karena tidak ada kendaraan. Tidak ada warung dan toko yang buka. Yang ada hanya tembakan tak henti-henti. Dili tak berpenghuni – kecuali para petugas UNAMET. Nyaris semua penduduk Dili mengungsi, sebagian via kapal, sebagian via darat ke Atambua. Orang-orang pro-kemerdekaan berlarian diserang kaum pro-integrasi. Markas dan sekretariat dibakar. Darah tumpah lagi entah untuk keberapa kalinya.
Sekarang, saya jadi teringat kata-kata Laffae sehabis menyaksikan pengumuman hasil jajak pedapat kemarin: “Dili ini akan kosong..”
Saya pun teringat kata-kata dia: “Saya perlu lima ribu orang untuk mengguncang kota Dili..” Ya, sekarang saya berkesimpulan ini aksi dia. Aksi pejuang pro-integrasi yang merasa kehilangan masa depan. Ya, hanya saya yang tahu siapa tokoh utama aksi bumi hangus ini, sementara teve-teve hanya memberitakan penyerangan mililis pro-integrasi terhadap kaum pro-kemerdekaan.
Tentu, orang-orang pro-integrasi pun mengungsi. Laffae dan pasukannya ingin semua orang Timtim bernasib sama: kalau ada satu pihak yang tak mendapat tempat di bumi Loro Sae, maka semua orang timtim harus keluar dari sana. Itu pernah diucapkannya kepada saya.
Inilah hasil langsung jajak pendapat yang dipaksakan harus dimenangkan. Hukum perhubungan antar manusia saat itu sepasti hukum kimia: tindakan lancung dan curang pasti berbuah bencana.
***
Saya harus pulang, karena tidak banyak yang bisa dilihat dan ditemui. Untung masih ada omprengan yang mau mengantara ke bandara. Sekitar jam 11 pagi saya sampai di pelabuhan udara Komoro. Keadaan di bandara sedang darurat. Semua orang panik. Semua orang ingin mendapat tiket dan tempat duduk pada jam penerbangan yang sama. Karena hura-hara sudah mendekati bandara. Lagi pula penerbangan jam itu adalah yang satu-satunya dan terakhir.
Bule-bule yang biasanya tertib kini saling sikut, saling dorong sampai ke depan komputer penjaga kounter. Ada bule yang stres saking tegangnya sampai-sampai minta rokok kepada saya yg berdiri di belakang tenang-tenang saja. Beginilah nikmatnya jadi orang beriman.
Banyak yang tidak kebagian tiket. Entah kenapa saya lancar-lancar saja. Masuk ke ruangan tunggu, di situ sudah ada Eurico Gutteres. Saya hampiri dia, saya bilang saya banyak bicara dengan Laffae dan dia menyampaikan salam untuknya. Eurico memandang saya agak lama, pasti karena saya menyebut nama Laffae itu.
Sore, 7 Novembe3, 1999, saya mendarat di Jakarta.
Penduduk Timtim mengungsi ke Atambua, NTT. Sungguh tidak mudah mereka mengungsi. Polisi UNAMET berusaha mencegah setiap bentuk pengungsian ke luar Dili. Namun hanya sedikit yang bisa mereka tahan di Dili.
Di kamp-kamp pengungsian Atambua, keadaan sungguh memiriskan hati. Orang-orang tua duduk mecakung; anak-anak muda gelisah ditelikung rasa takut; sebagian digerayangi rasa marah dan dendam; anak-anak diliputi kecemasan. Mereka adalah yang memilih hidup bersama Indonesia. Dan pilihan itu mengharuskan mereka terpisah dari keluarga.
Pemerintah negara yang mereka pilih sebagai tumpuan hidup, jauh dari menyantuni mereka. Kaum milisi pro-integrasi dikejar-kejar tuntutan hukum atas ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’, dan Indonesia, boro-boro membela mereka, malah ikut mengejar-ngejar orang Timtim yang memilih merah putih itu. Eurico Guterres dan Abilio Soares diadili dan dihukum di negara yang dicintai dan dibelanya.
Jendral-jendral yang dulu menikmati kekuasaan di Timtim, sekarang pada sembunyi. Tak ada yang punya cukup nyali untuk bersikap tegas, misalnya: “Kami melindungi rakyat Timtim yang memilih bergabung dengan Indonesia.” Padahal, mereka yang selalu mengajarkan berkorban untuk negara; menjadi tumbal untuk kehormatan pertiwi, dengan nyawa sekalipun.
Sementara itu, para pengungsi ditelantarkan. Tak ada solidaritas kebangsaan yang ditunjukkan pemerintah dan militer Indonesia.
Inilah tragedi kemanusiaan. Melihat begini, jargon-jargon negara-negara Barat, media asing, tentang ‘self determination’, tak lebih dari sekedar ironi pahit. Sikap negara-negara Barat dan para aktifis kemanusiaan internasional yang merasa memperjuangkan rakyat Timtim jadi terlihat absurd. Sebab waktu telah membuktikan bahwa yang mereka perjuangkan tak lebih tak kurang adalah sumberdaya alam Timtim, terutama minyak bumi, yang kini mereka hisap habis-habisan.
Pernah Laffae menelepon saya dari Jakarta, kira-kira 3 bulan setelah malapetaka itu. Ketika itu saya tinggal di Bandung. Dia bilang ingin ketemu saya dan akan datang ke Bandung. Saya sangat senang. Tapi dia tak pernah datang..saya tidak tahu sebabnya. Mudah-mudahan dia baik-baik saja.
***
12 TAHUN BERALU SUDAH. APA KABAR BAILOUT IMF YANG 43 MILYAR DOLAR ITU? SAMPAI DETIK INI, UANG ITU ENTAH DI MANA. ADA BEBERAPA PERCIK DICAIRKAN TAHUN 1999-2000, TAK SAMPAI SEPEREMPATNYA. DAN TIDAK MENOLONG APA-APA. YANG TERBUKTI BUKAN MENCAIRKAN DANA YANG DIJANJIKAN, TAPI MEMINTA PEMERINTAH INDONESIA SUPAYA MENCABUT SUBSIDI BBM, SUBSIDI PANGAN, SUBSIDI LISTRIK, YANG MEMBUAT RAKYAT INDONESIA TAMBAH MISKIN DAN SENGSARA. ANEHNYA, SEMUA SARANNYA ITU DITURUT OLEH PEMERINTAH RENDAH DIRI BIN INLANDER INI.
Yang paling dibutuhkan adalah menutupi defisit anggaran. Untuk itulah dana pinjaman [bukan bantuan] diperlukan. Namun IMF mengatasi defisit angaran dengan akal bulus: mencabut semua subsidi untuk kebutuhan rakyat sehingga defisit tertutupi, sehingga duit dia tetap utuh. Perkara rakyat ngamuk dan makin sengsara, peduli amat.
Melengkapi akal bulusnya itu IMF meminta pemerintah Indonesia menswastakan semua perusahaan negara, seperti Bank Niaga, BCA, Telkom, Indosat.
Pernah IMF mengeluarkan dana cadangan sebesar 9 milyar dolar. Tapi, seperti dikeluhkan Menteri Ekonomi Kwik Kian Gie ketika itu, seperak pun dana itu tidak bisa dipakai karena hanya berfungsi sebagai pengaman. Apa bedanya dengan dana fiktif?
Lagi pula, kenapa ketika itu pemerintah Indonesia seperti tak punya cadangan otak, yang paling sederhana sekalipun. KENAPA MAU MELEPAS TIMTIM DENGAN IMBALAN UTANG? BUKANKAN SEMESTINYA KOMPENSASI? ADAKAH DI DUNIA INI ORANG YANG HARTANYA DI BELI DENGAN UTANG? NIH SAYA BAYAR BARANGMU. BARANGMU SAYA AMBIL, TAPI KAU HARUS TETAP MENGEMBALIKAN UANG ITU. BUKANKAH INI SAMA PERSIS DENGAN MEMBERI GRATIS? DAN DALAM KASUS INI, YANG DIKASIH ADALAH NEGARA? YA, INDONESIA MEMBERI NEGARA KEPADA IMF SECARA CUMA-CUMA.
Kalau saya jadi wakil pemerintah Indonesia waktu itu, saya akan menawarkan ‘deal’ yang paling masuk akal: “Baik, Timor Timur kami lepas tanpa syarat. Ganti saja dana yang sudah kami keluarkan untuk membangun Timtim selama 24 tahun.” Dengan demikian, tidak ada utang piutang.
SAMPAI HARI INI INDONESIA MASIH MENYICIL UTANG KEPADA IMF, UNTUK SESUATU YANG TAK PERNAH IA DAPATKAN. SAYA HARAP GENERASI MUDA INDONESIA TIDAK SEBODOH PARA PEMIMPIN SEKARANG. [KbrNet/Slm]
Source: petanikeyboard.wordpress.com