Diposting oleh
PUTRA BETAWI
Published on Sabtu, 31 Desember 2011
Kronologis Bima Berdarah
Bima – Gerakan rakyat menentang pertambangan di Bima, NTB semakin massif. Sejak 19 Desember 2011 lalu mereka melakukan aksi besar-besaran melibatkan semua elemen. Polisi bahkan lebih brutal lagi, mereka menembaki masyarakat dan membunuh beberapa diantaranya.
Kerusuhan tersebut berawala dari penolakan Warga di 3 Kecamatan (Sape, Lambu dan Langgudu) Bima, Nusa Tenggara barat, bermula dari kekawatiran warga dari ketiga kecamatan tersebut akan dampak negative dari kehadiran PT. Sumber Mineral Nusantara terhadap produktifitas pertanian warga yang mayoritas menanam bawang.
Unjuk rasa sekitar 7.000 warga di wilayah kecamatan Sape, Lambu dan Langgudu yang di kantor kecamatan lambu yang pada awalnya berlangsung secara damai, berubah menjadi rusuh tak lain adalah akibat provokasi dari Bupati Bima H. Ferri Julkarnain ST yang ingkar terhadap janjinya unjtuk bertemu warga. Kedatangan warga ke kantor kecamatan Lambu saat itu merupakan usaha yang ketiga kalinya, yang dilakukan warga untuk bertemu Bupati Bima, H. Ferri Julkarnain ST., guna menyampaikan tuntutan agar mencabut SK nomor 188/45/357/004/2010 tentang pemberian izin eksplorasi tambang kepada PT. Sumber Mineral Nusantara, seluas 24.980 H.
Itikad baik warga untuk memperoleh penjelasan terkait kehadiran tambang emas PT. Sumber Mineral Nusantara ini harusnya disambut baik oleh Bupati Bima H. Ferri Julkarnain ST karena warga mengetahui kehadiran PT Sumber Mineral Nusantara tersebut justru dari aktifitas perusahaan yang telah berlangsung di lokasi lahan warga.
Setelah dilakukan beberapa kali penyampaian orasi, perwakilan warga diterima oleh camat Lambu, Muhaimin, S.Sos. Dalam pertemuan tersebut Camat lambu menyatakan bahwa dirinya tak dapat menandatangai Surat Pernyataan Penolakan atas SK nomor 188/45/357/004/2010 yang dikeluarkan oleh warga dan menyatakan bahwa bupati Bima sedang berada di Mataram.
Pertemuan pun berakhir tanpa ada kesepakatan. Perwakilan warga kemudian menyampaikan hasil pertemuan tersebut, melalui mobil komando, kepada warga yang telah menunggu di luar kantor kecamatan. Belum selesai proses sosialisasi hasil pertemuan dilakukan, massa yang merasa telah dikecekawan oleh Bupati Bima yang baru saja terpilih tidak berada ditempat, secara spontan mendorong pintu masuk ke kantor kecamatan Lambu. Namun reaksi pihak kepolisian sangat berlebihan. Aparat kepolisian tidak berupaya terlebih dahulu melakukan upaya preventif kepada massa. Namun justru mengeluarkan tembakan gas air mata, peluru karet serta diduga kuat menggunaka peluru tajam. Dalam situasi yang ricuh, massa menemukan salah seorang warga yang terkena tembakan. Kemudian dari dalam pagar, tepatnya disekitar kantor kecamatan, muncul sekelompok preman yang diduga kuat organisir aparat kecamatan. Hal inilah yang ikut menciptakan provokasi terhadap kemarahan warga. Namun reaksi pihak kepolisian sangat berlebihan. Aparat kepolisian tidak berupaya terlebih dahulu melakukan upaya preventif kepada massa. Namun justru mengeluarkan tembakan gas air mata, peluru karet serta diduga kuat menggunaka peluru tajam. Dalam situasi yang ricuh, massa menemukan salah seorang warga yang terkena tembakan. Kemudian dari dalam pagar, tepatnya disekitar kantor kecamatan, muncul sekelompok preman yang diduga kuat organisir aparat kecamatan. Hal inilah yang ikut menciptakan provokasi terhadap kemarahan warga.
Sore setelah Aksi aparat Kepolisian, Tentara dan Brimob, mendatangi rumah warga yang ikut Aksi. Warga yang diduga terlibat dan bertanggung jawab atas unjuk rasa tersebut ditangkap tanpa ada surat pemberitahuan dan penagkapan dari kepolisian. Sampai saat ini, terdapat kurang lebih 60 warga yang dikabarkan telah ditangkap.
Meski pun telah ada Surat Rekomendasi dari KOMNAS HAM Nomor 2.784/K/PMT/XI/2011 terkait dengan Kegiatan Pertambangan PT. Sumber Mineral Nusantara pada 9 November 2011 yang ditujukan kepada Bupati Bima, Kapolda NTB dan Direktur PT. Sumber Mineral Nusantara agar tidak melakukan pemeriksaan dan penangkapan lanjutan terhadap warga masyarakat yang ikut serta dalam unjuk rasa, namun pada 6 Desember 2011, aparat Kepolisian Resort Bima telah melanggarnya dengan penangkapan secara sewenang-wenang terhadap Adi Supriyadi. Hal inilah menurut laporan yang kami terima dari perwakilan warga di 3 kecamatan tersebut menjadi alasan untuk melakukan aksi lanjutan dalam beberapa hari terakhir di Pelabuhan Sape Bima, NTB.
Atas dasar fakta diatas, LMND menilai bahwa akar persoalan dari berbagai macam konflik didaerah-daerah penghasil tambang tersebut adalah kebijakan Pemerintah SBY-Boediono di sector ekstratif yang memihak kepada kepentingan modal. Dalam beberapa tahun terakhir paska disahkannya UU nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, yang melegitimasi agresifitas eksploitasi modal dalam mengeruk sumber daya alam, setidaknya telah terjadi kasus serupa di Bombana (Sulawesi Tenggara), Meranti dan Suluk Bongkal (Riau), Banggai (Sulawesi Tengah), Ogan Komering Ilir (Sumatera Selatan), Kebumen (Jawa Tengah, Mesuji (Lampung) dan masih banyak kasus lain. Sebagai salah satu contoh, dalam UU Mineral dan Batubara Nomor 4 Tahun 2009, terdapat pasal – pasal yang mengeliminasi hak politik warga dalam keikutsertaannya dalam penentuan wilayah pertambangan dan melegitimasi kriminalisasi terhadap warga yang menolak keberadaan atau operasi perusahaan tambang.
“LMND menuntut penghentian penangkapan terhadap rakyat Bima yang terlibat dalam aksi menuntut penolakan tambang emas PT. Sumber Mineral Nusantara, pembebasan tanpa syarat terhadap Adi Supyiyadi yang ditangkap Kepolisian Resort Bima, dan penghentian Eksplorasi PT Sumber Mineral Nusantara yang merusak pertanian Rakyat.”, kata Ketua Eksekutif Nasional LMND Lamen Hendra Saputra.
LMND juga menuntut Kepada Mahkamah Konstitusi untuk segera mengeluarkan Keputusaannya terkait Judicial Review UU Mineral Batubara Nomor 4 Tahun 2009 yang melegitimasi kriminalisasi terhadap rakyat serta melemahkan partisipasi rakyat dalam penentuan izin berdirinya perusahaan tambang di wilayahnya serta dicabutnya UU Nomor 25 Tahun 2007 dan berbagai peraturan pemerintah lainnya (pusat & daerah) yang menjadi legitimasi terhadap perampokan kekayaan alam bangsa Indonesia.
Atas peristiwa ini, tiga orang dikabarkan tewas. Adapun nama-nama korban yang berhasil dihimpun. Pertama, Arif Rahman (18) tewas dengan luka tembak di lengan kanan, tembus ke ketiak. Kedua, Saiful (17) tewas dengan luka tembak dibagian dada. Ketiga adalah aktivis mahasiswa Muhamadiyah bernama Ansari (20) yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan satu lagi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam bernama Alamsyah juga dikabarkan tewas, namun berita tersebut dibantah oleh pihak HMI. Semuanya tewas saat bentrokan warga dengan aparat keamanan di Pelabukan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). [KbrNet/HMINEWS]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar