Today :

Not found what you looking for?:

Diposting oleh PUTRA BETAWI

Published on Senin, 18 Mei 2009

Koran USA tumbang karena Internet, koran Indonesia bertahan karena korupsi


"Apa yang sedang kulakukan, kupikirkan, dan kuliput detik ini?" Follow me, ikuti lewat Twitter [klik di sini]. Artikel ini boleh dikutip dengan menyebutkan sumbernya blogberita.net dan membuat tautan-balik. Untuk BERKOMENTAR soal topik tulisan, KLIK JUDUL ARTIKEL

Sejumlah media cetak besar di Amerika Serikat merugi, oplah berkurang, beberapa koran bahkan terpaksa tutup. Salah satu penyebabnya ialah karena pembaca berpindah ke situs-situs Internet yang memberikan informasi gratis.

Koran-koran di Amerika Serikat sekarang bermasalah, selain pengiklan yang berkurang, pembaca juga banyak yang mengandalkan media online. Contohnya koran terbesar di San Francisco, The San Francisco Chronicle, segera ditutup atau dijual karena pada 2008 mereka rugi Rp600 miliar. Dua koran paling bergengsi Amerika Serikat, New York Times dan Washington Post, melakukan langkah penghematan karena turunnya iklan dan menguatnya media online. Times akan memotong gaji sampai lima persen sedangkan Post bakal menawarkan pensiun dini.

Sepanjang 2008 industri koran Amerika terpaksa harus melepas sekitar 41 ribu tenaga kerja dan sekitar 9 ribu lowongan kerja di industri koran hilang dari awal 2009 sampai sekarang. Lima koran besar di USA tutup sejak akhir tahun lalu.

Begitulah isi berita yang dikutip DetikCom, Tempo Interaktif, dan Okezone dari kantor berita Reuters, AFP, dan AP. Antara lain berjudul:

  • 2 Koran AS Hentikan Edisi Cetak Gara-gara Tren Internet
  • Sirkulasi Koran-koran Amerika Mulai Menyusut
  • Kelompok Media Terbesar Kedua Australia Rugi Triliunan Rupiah
  • Terancam Bangkrut, Koran AS Pindah ke Online
  • Dua Koran Paling Top Amerika Potong Gaji dan Pecat Wartawan

Maka menarik apabila muncul pertanyaan, tapi mengapa di provinsi dan kabupaten-kabupaten di Indonesia justru semakin banyak bermunculan koran lokal? Apakah mereka punya modal kuat, korannya beroplah di atas 20 ribu eksemplar, atau iklan barisnya antri seperti di harian Analisa [Medan] dan Pos Kota [Jakarta]?

Bukan karena itu. Semisal di Sumatera Utara, hampir semua koran yang muncul di era Reformasi tidak punya modal cukup, bahkan menggaji wartawannya pun tidak mampu; oplah rata-rata cuma 2 ribu eksemplar; dan iklannya kebanyakan “iklan tembak”, itu pun bisa dihitung jari. Sementara sebuah koran daerah dalam hitungan kasar layak disebut sehat bila oplah terjualnya minimal 8 ribu eksemplar per terbit, plus setidaknya satu halaman iklan; itu pun laba nyaris tidak ada apabila semua wartawan dan karyawannya digaji layak. Lalu mengapa koran-koran itu tetap terbit?

Inilah yang unik: …karena korupsi. Sudah menjadi pengetahuan umum kalangan aktivis kebebasan pers Indonesia, banyak [kebanyakan] koran lokal justru muncul karena jumlah pejabat daerah yang terlibat korupsi juga semakin banyak. Pejabat-pejabat korup inilah “pangsa pasar” mereka yang sesungguhnya, bukan pembeli koran eceran atau pemasang iklan. Para koruptor inilah yang secara tidak langsung membiayai operasional koran, yaitu melalui pemberian amplop atau transfer ke rekening petinggi koran, proyek, iklan tembak atau iklan paksa, dan bentuk suap lainnya.

Meski dalam hitungan bisnis media koran-koran lokal ini tidak akan mampu bertahan, tapi faktanya adalah mereka akan tetap terbit selama masih banyak pejabat korup yang bisa diperas. Mereka baru akan terbenam ketika jumlah koruptor menjadi segelintir.

Jadi media senang kalau korupsi terus merajalela? Inilah rahasia dapur pers Indonesia yang sesungguhnya yang tidak akan mereka buka kepada publik.

0 komentar:

Posting Komentar