Today :

Not found what you looking for?:

Diposting oleh PUTRA BETAWI

Published on Senin, 04 Oktober 2010

Intelijen Komunis Cekoslowakia Ikut Bermain

Praha – Setelah 45 tahun baru terungkap dengan jelas, bahwa agen-agen rahasia Cekoslowakia iku terlibat langsung dalam peristiwa yang kita kenal dengan Gerakan 30 September 1965.

Agen-agen rahasia Cekoslowakia sejak akhir 50-an berusaha untuk melemahkan posisi Amerika. Kegiatan-kegiatan intelijen Cekoslowakia mengakibatkan destabilisasi keseluruhan dalam negara, yang akhirnya digunakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada September 1965 untuk merebut kekuasaan. Namun upaya kudeta ini dapat dihancurkan oleh tentara dengan cepat dan dalam beberapa bulan mendatang anggota PKI dibantai, diperkirakan sampai setengah juta orang.

Bekerjasama dengan T. Tedoun, warga di Praha, detikcom menyajikan rekonstruksi kejadian berdasarkan dokumen Arsip Nasional Ceko, yang pertama kali diterbitkan dan kesaksian pribadi para pelakunya.

“Ya, itu adalah nama rahasia saya,” Pavka tertawa di sebuah coffee shop di Bratislava (kini ibukota Slovakia, red).

Izidor Počiatek (78), “Saya sudah benar-benar lupa bagaimana hal itu terjadi. Ya, saya suka buku dari Ostrovsky yang berjudul Jak se kalila ocel (Bagaimana Melumerkan Baja), dan tokoh utama dalam buku itu bernama Pavka Korčagin.”

Lalu, pria yang sudah beruban ini menukar kacamatanya dan menyimak sebuah laporan yang ditulis pada 17/2/1965. Laporan itu dikirim ke markas intelijen di Praha dari residensi di Jakarta, yang secara resmi disebut Departemen Ke-1 Kementerian Luarnegeri Cekoslowakia (Ceko dan Slowakia saat itu masih satu negara, red).

Isi laporan itu menjelaskan salah satu langkah aktif yang diorganisir oleh intelijen Cekoslovakia terhadap kedubes AS, bahwa telah terjadi demonstrasi terhadap kedubes ASdi Jakarta pada 12 dan 15/2/1965, yang diarahkan untuk memprotes agresinya di Vietnam.

Kami hadir pada demonstrasi itu pada 15/2/1965 dan menurut pendapat kami adalah merupakan aksi yang dikendalikan oleh otoritas setempat, yang kelihatannya tidak memiliki kepentingan agar aksi tersebut meluas terlalu besar.

Untuk itulah kami mempersiapkan langkah aktiv bersandi Znervosnění, yang dicocokkan dengan situasi yang ada.

Pada hari berikutnya yakni 16/2/1965 agen Pavka menghubungi Galbraitha, Chargé d’ Affaires (Kuasa Usaha, red) pada kedubes AS melaui telepon umum dengan bahasa Indonesia. Ia mengatakan bahwa dalam beberapa hari mendatang akan ada aksi terhadap kedubes AS, yang mirip dengan aksi di tahun 1963 terhadap kedubes Inggris.

Faktor Agen Pavka dan Seorang Pociatek
Setelah 45 tahun baru terungkap dengan jelas, bahwa agen-agen rahasia Cekoslowakia ikut terlibat langsung dalam G30S. Sebuah fakta baru, melengkapi kajian-kajian sebelumnya tentang peran intelijen Barat.

Atas pertanyaan Galbraitha, siapakah penelpon itu, Pavka menjawab bahwa dia tidak bisa memberikan identitas namanya, namun mengatakan agar telepon ini dianggap sebagai peringatan persahabatan, yang bertujuan mencegah aksi tersebut.

Agen-agen Cekoslowakia setempat saat itu menyelesaikan surat-surat anonim untuk para pegawai diplomatik AS dan untuk orang AS lainnya di Jakarta, di mana kami katakan bahwa turut bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi di Vietnam, dan kami katakan bahwa mereka bisa bernasib sama dengan Inggris di Indonesia tahun 1963.

Seperti diketahui, kedubes Inggris di Jakarta dibakar dan lambang negaranya dicopot demonstran pada 18/9/1963, hanya selang dua hari setelah Federasi Malaysia resmi didirikan.

Seperti diketahui, pada saat itu Soekarno telah mengirim ribuan sukarelawan ke perbatasan-perbatasan dengan Malaysia, antara lain Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Riau. Di antara mereka terdapat dokter, mahasiswa, pemuda, bahkan juga wartawan. Sementara satuan-satuan tentara yang juga mengklaim diri sebagai sukarelawan menyusup masuk ke wilayah Singapura dan Kalimantan Utara.

Yang dimaksud Pavka adalah 50 surat yang dibuat dengan mesin tik. Dalam menulis alamat digunakan huruf-huruf kapital dan alamat yang digunakan adalah alamat tempat tinggal.

Tahap akhir daripada langkah aktif tersebut adalah juga akan dikirimkan beberapa surat kepada pegawai Indonesia di kedubes AS, di mana akan disarankan agar mereka demi kepentingan keamanan pribadi bersiap untuk meninggalkan gedung dengan segera dan agar informasi ini disebarkan di antara kekuatan lokal lainnya. Naskah surat tersebut dipersiapkan oleh Pavka.

“Persis seperti yang tertulis di sini”, ujar Izidor Počiatek .

“Hanya saja saya mengatakan dengan persis kepada Galbraith bahwa aksi terhadap kedubes AS akan terjadi keesokan harinya. Mengenai surat anonim terhadap para diplomat saya sudah tidak tahu, namun itu wajar dalam bisnis ini. Setiap staf hanya tahu beberapa keping dari keseluruhan puzzle,” papar Počiatek.

Počiatek adalah Atase Informasi di Jakarta (1961-1968) dan merupakan Duta Besar (1990-1992) terakhir Cekoslowakia (sebelum pecah menjadi Ceko dan Slowakia, red) sekaligus satu-satunya saksi hidup aktivitas intelijen Cekoslowakia di Jakarta.

Berbeda dengan kebanyakan diplomat saat itu, Počiatek tidak pernah menjadi kader intelijen melainkan hanya merupakan kolaborator ideologis intelijen. Namun dia seorang staf yang sangat penting, karena merupakan satu-satunya di kedubes Cekoslowakia di Jakarta yang bisa berbahasa Indonesia.

Target Intelijen Cekoslowakia: Melumpuhkan Upaya Amerika
Tujuan utama dari dinas intelijen Cekoslowakia melakukan penetrasi di Indonesia, menurut dokumen dari akhir tahun 1962, adalah melumpuhkan upaya Amerika.

Untuk misi tersebut Cekoslowakia membentuk residen intelijen, yang mulai bekerja di Jakarta pada awal 1959. Kepala pertama intelijen Cekoslowakia di Jakarta adalah Václav Rabbit, dengan nama samaran Kares, yang bekerja secara resmi sebagai seorang diplomat dalam kapasitas sebagai Sekretaris Pertama.

Perwira intelijen luarbiasa di Indonesia yang lainnya adalah Eugene Vacek (Vinklář), yang pada akhir 80-an kemudian menjadi Wakil Menteri Luar Negeri. Setelah 1989, Vacek berpartisipasi dalam negosiasi mengenai penarikan pasukan Soviet dari Cekoslowakia dan sebagai imbalannya –untuk kedua kalinya dalam karir diplomatiknya– menjadi duta besar untuk Nigeria.

Selain melumpuhkan upaya Amerika, misi lainnya adalah ikut mengeliminir kekuatan reaksioner dalam negeri yang berusaha membalik perkembangan politik ke kanan, mempertahankan posisi Indonesia sebagai negara netral dan memperkuat pasukan sayap kiri dan tren yang mengarah kepada kerjasama lebih erat dengan negara-negara sosialis.”

Terutama berkat aktivitas dari kolaborator intelijen Pavka, residen tidak lama kemudian memperoleh jaringan kontak rahasia dari kalangan wartawan lokal, pejabat dan juga politisi.

Sebagian besar dari mereka adalah merupakan simpatisan komunis dan dengan hadiah berupa sedikit uang dan material bersedia untuk memberikan informasi rahasia atau sebaliknya menjadi saluran di mana intelijen dapat memanipulasi pejabat setempat atau opini publik.

Meskipun demikian, berbagai kegiatan residen di Jakarta dari awal 60-an, berulang kali dinilai ‘sangat sedikit melakukan tindakan.’ Tindakan aktif yang diusulkan oleh markas di Praha terkadang cukup aneh, “Menurut informasi anda, Amerika pada tahun 1963 di Jakarta akan melakukan pameran besar di mana akan memberikan makanan dan minuman gratis. Jika kita berhasil merusak beberapa makanan yang dapat menyebabkan penyakit, dan memberitakan hal itu kepada masyarakat tentunya hal itu dapat merusak nama baik Amerika dan melemahkan efektivitas pameran.”

Krisis terbuka residen dan kedubes Cekoslowakia sempat terjadi pada akhir 1963, yakni setelah wakil maskapai penerbangan CSA (České Aerolinie) di Jakarta pindah ke Barat. Dia adalah pengikut ideologis dari intelijen. Karena hal itu, petugas kontrolnya yakni Alois Semelka (Suk) harus kembali ke Cekoslowakia.

Duta Besar baru Cekoslowakia untuk Jakarta, Emil Patek, adalah orang yang baru pertama kali keluar negeri dan seperti umumnya pejabat Cekoslowakia lainnya dari jalur diplomatis, hanya bisa berbahasa Rusia.

Hal kritis tersebut diselesaikan dengan ditariknya kembali intelijen berpengalaman Evzen Vacek dari pusat kembali ke residen di Jakarta.

Di bawah kepemimpinan Vacek, dilakukan langkah-langkah aktif dengan menggunakan kata sandi ‘Fitnah’. Kegiatannya antara lain memanfaatkan pernyataan-pernyataan para senator Amerika, yang selanjutnya diedit, sehingga isinya seolah menghina Sukarno dan rakyat Indonesia.

‘Berita Koran dan Palmer Agen CIA’
Melalui kontak rahasia di antara wartawan lokal dengan nama samaran Moslim, Letka dan Literat, residen melakukan kampanye di surat-surat kabar dan organisasi-organisasi massa (ormas).

“Artikel menjadi sinyal untuk kampanye luas bagi pers Indonesia dan radio, yang kemudian melebar kepada protes terhadap impor film Amerika dan kegiatan armada kapal ke-7 USA di wilayah Indonesia,” puji residen atas disinformasi yang disebarkan.

Bahkan berita yang disebarkan oleh intelijen Cekoslowakia itu digunakan sendiri oleh presiden Sukarno dalam pidato-pidatonya. Bahkan presiden Soekarno kemudian membatalkan rencana kunjungannya ke AS pada Mei 1964.

Enam bulan kemudian residen yang pada saat itu dikepalai oleh Vaclav Louda (Havlik) mengeluh bahwa kegiatan terhadap Amerika melemah. Para anggota intelijen di Jakarta maupun di pusat (Praha) yang di awal 1964 membentuk departemen disinformasi, berusaha untuk mencari tahu bagaimana caranya melemahkan posisi Amerika di Indonesia secara permanen.

Bidikan mereka diarahkan kembali kepada warga Amerika, Bill Palmer, yang pada saat itu resmi menjadi kepala American Moving Picture Association in Indonesia (AMPAI) di Jakarta, yang mewakili perfilman AS di Indonesia. Sudah sejak pertengahan 50-an dan 60-an intelijen Cekoslowakia menyimpulkan bahwa Bill Palmer adalah kepala cabang lokal CIA di Jakarta.

Oleh karena itu pada Maret 1960 intelijen Cekoslowakia melakukan survei di sekitar villa kediaman Palmer dan hasil dokumentasi fotografi yang dibuat dikirim ke Praha.

Sejak saat itu Palmer muncul secara teratur dalam daftar utama sasaran residen intelijen Cekoslowakia. Oleh para intelijen Cekoslowakia, Palmer dicirikan dengan ‘bertubuh gempal kecil, kepala berbentuk kentang, gundul, hidung mancung, memakai kacamata.’ Namun tidak diperoleh informasi signifikan mengenai pria setengah baya ini.

Pada awal 1964 markas intelijen di Praha memberikan minat baru terhadap Palmer dan menulis surat ke residen bahwa ada ‘seorang teman’ mengusulkan untuk menerapkan suatu ‘tindakan aktif’bersama untuk mendiskreditkan Palmer. Yang dimaksud ‘seorang teman’ adalah intelijen Soviet.

Usulan ini menghasilkan ‘tindakan aktif’ dengan nama sandi ‘Karno’. Esensinya adalah membongkar kegiatan CIA di Indonesia, antara lain bahwa Palmer dan Duta Besar AS Howard P. Jones pada tahun 1962 menginformasikan Belanda mengenai pergerakan kapal perang Indonesia, yang menyebabkan ditenggelamkannya kapal torpedo Indonesia dalam konflik pembebasan Irian Barat.

Artikel dengan isi berita tersebut oleh intelijen Cekoslowakia diterbitkan di majalah mingguan India Mainstream, milik seorang komunis India bernama Nikhil Chakravarty. Karena haluan politiknya itu India Mainstream sering digunakan oleh intelijen Cekoslowakia sebagai tempat disinformasi berita.

Kemudian Izidor Pociatek bersama ‘kontak rahasianya’ mengatur agar berita tersebut pada 27/2/1965 diterbitkan ulang di surat kabar Indonesia, ‘SH’. Dua hari kemudian, informasi dari artikel tersebut dipublikasikan pula oleh harian berpengaruh lainnya.

Artikel tersebut memiliki efek luarbiasa. Tepatnya pada 28/2/1965 terjadi demonstrasi besar-besaran di depan kediaman Duta Besar AS. Selanjutnya pada 16/3/1965 sekitar 1500 artis, pekerja perfilman dan pemuda merebut gedung AMPAI di Jakarta.

Pada bangunan tersebut terlihat karikatur anti-AS dengan slogan ‘Palmer Agen CIA’, dijelaskan oleh residen sebagai konsekuensi dari ‘tindakan aktif’ mereka.

Pers Indonesia mengomentari kejadian tersebut. Indonesian Herald edisi 17/3/1965 menurunkan artikel yang menuntut pebubaran AMPAI dan agar Palmer dideportasi dari Indonesia atau diadili, karena merupakan agen CIA.

Palmer tak menunggu lama. Pada akhir Maret dia diam-diam meninggalkan Indonesia. Koneksitasnya dengan CIA tidak pernah terbukti.

Agen Ceko Berperan dalam Pembuatan Dokumen Gilchrist
Terlibatnya agen-agen Cekoslowakia yang ikut bermain dalam peristiwa G30S tahun 1965 sesungguhnya bukan fakta baru. Sejumlah bukti sejarah telah mengindikasikan adanya campur tangan agen Ceko dalam pembuatan apa yang dikenal sebagai “Dokumen Gilchrist”.

Diambil dari nama Dubes Inggris untuk Indonesia saat itu, Andrew Gilchrist, dokumen yang beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jendral tersebut ikut memicu terjadinya G30S. Dokumen itu menyebut adanya konsolidasi di Angkatan Darat (AD).

“Di dalam dokumen itu disebutkan ‘ada teman di kalangan tentara yang bersimpati dengan Inggris’. Dokumen ini bisa saja palsu. Namun, terlepas benar atau tidak, dokumen tersebut telah menimbulkan saling curiga. Ditambah lagi muncul isu dewan jenderal dan sakitnya Presiden Seokarno yang mempercepat terjadinya G30S,” kata ahli peneliti utama LIPI, Asvi Warman Adam, kepada detikcom, Rabu (29/9/2010).

Sejumlah pihak menganggap Dokumen Gilchrits dipalsukan oleh agen Ceko di bawah kendali Jenderal Agayant dari dinas intelijen Rusia atau Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB). Namun, bagi Asvi, belum jelas benar untuk siapakah para agen Ceko tersebut sebenarnya bekerja.

“Kalau dikatakan berperan, iya. Intelijen dari berbagai negara waktu itu banyak sekali. Tapi agen Ceko ini kepentingannya untuk siapa belum jelas. Apakah mewakili kepentingan Uni Soviet atau kepentingan Ceko sendiri?” katanya.

Masih terkait dengan ketelibatan intelijen asing dalam peristiwa cup d’etat 45 tahun yang lalu itu, Asvi mengajak para peneliti untuk tidak terpaku pada eropa timur. Sebab, agen negara-negara di Asia kemungkinan besar juga mempunyai andil dalam memanasnya eskalasi politik saat itu. Sebagai contoh Jepang.

“Justru yang penting diketahui bukan eropa timur, tapi Jepang. Selain Amerika, modal Jepang itu masuk ke Indonesia secara luar biasa setelah tahun 1965,” imbuh Doktor sejarah dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sosiales, Paris, ini.

Asvi mengungkapkan, sebelum menyerbu ke Indonesia tahun 1942, Jepang sudah menyebarkan intelijennya ke negeri ini. Para agen-agen bangsa kulit kuning itu mengunakan teknik penyamaran yang canggih, seperti membuka toko-toko kelontong.

“Nah, berdasarkan pengalaman itu, apakah Jepang bermain atau tidak dalam peristiwa G30S, itu lebih menarik untuk dikaji. Di Jepang sudah ada arsipnya, tapi belum dibuka,” tutup pria kelahiran Bukittinggi, 8 Oktober 1954, itu.

0 komentar:

Posting Komentar