Membaca naskah pidato Soekarno yang bertajuk
Djangan Sekali-kali Tinggalkan Sedjarah alias Djas Merah , ingatan akan mengarah ke buku Tem Weiner yang bikin geger: Membongkar Kegagalan CIA. Buku itu menyebut Adam Malik agen CIA. Ada satu kesamaan di dua naskah itu, yaitu penyebutan trio Soeharto, Sultan HB IX dan Adam Malik.
"
CIA berusaha mengkonsolidasi sebuah pemerintah bayangan , sebuah kelompok tiga serangkai yang terdiri atas Adam Malik, Sultan yang memerintah di Jawa Tengah, dan perwira tinggi angkatan darat berpangkat mayor jenderal bernama Suharto," tulis Tim Weiner.
Dalam pidato terakhir Soekarno sebagai presiden di acara HUT RI pada 17 Agustus 1966, Soekarno juga mengungkit-ungkit nama 3 orang dimaksud. Pidato itu sendiri untuk menegaskan bahwa Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) bukanlah penyerahan kekuasaan.
"Dikiranja SP 11 Maret itu suatu 'transfer of authority', padahal SP 11 Maret adalah satu perintah pengamanan," demikian teks pidato Djas Merah.
Pernyataan Soekarno di atas merupakan hasil evaluasi terhadap langkah-langkah yang dilakukan Soeharto usai menerima Supersemar. Bahkan Soekarno sempat melontarkan pernyataan adanya upaya 'coup' atau kudeta atas dirinya.
"Apalagi kataku tadi, dalam tahun 1966 ini! Tahun 1966 ini, kata mereka.., eindelijk (lama-lama), at long last, Presiden Soekarno telah didjambret oleh rakyatnya sendiri; Presiden Soekarno telah di-coup; Presiden Soekarno telah dipreteli segala kekuatannya; Presiden Soekarno telah ditelikung oleh satu 'triumvirat' jang terdiri dari
Djenderal Suharto, Sultan Hamengku Buwono dan Adam Malik ," kata Soekarno.
"Seorang pemimpin berkata, one cannot escape history. Saja pun berkata seperti itu, tapi saja tambahkan. Never leave history, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah," kata Soekarno.
Dari 800 lebih halaman di buku Membongkar Kegagalan CIA karya Tim Weiner, wartawan The New York Times yang pernah meraih Pulitzer, cerita soal Indonesia hanya makan 5 halaman saja, dimulai pada halaman 329. Meski sekelumit, namun pengakuan perwira CIA bahwa Adam Malik adalah agen CIA menggegerkan Tanah Air.
"
Saya merekrut dan mengontrol Adam Malik," ujar Clyde McAvoy, perwira CIA itu, dalam sebuah wawancara pada tahun 2005. McAvoy bertemu dengan Adam Malik di sebuah tempat rahasia dan aman di Jakarta pada 1964.
"Dia adalah pejabat Indonesia tertinggi yang pernah kami rekrut," tambah McAvoy.
Adam Malik dirinci lebih dalam lagi setelah itu. Disebutkan, dalam beberapa minggu yang menegangkan pada bulan Oktober 1965, Negara Indonesia terpecah dua.
Tim Weiner menulis, "CIA berusaha mengkonsolidasi sebuah pemerintah bayangan, sebuah kelompok tiga serangkai yang terdiri atas Adam Malik, Sultan yang memerintah di Jawa Tengah, dan perwira tinggi angkatan darat berpangkat mayor jenderal bernama Suharto.
"Malik memanfaatkan hubungan dengan CIA untuk mengadakan serangkaian pertemuan rahasia dengan Duta Besar Amerika yang baru di Indonesia, Marshall Green. Sang Duta Besar mengatakan bahwa dia bertemu dengan Adam Malik "
di sebuah lokasi rahasia" dan mendapatkan "gambaran yang sangat jelas tentang apa yang dipikirkan Suharto dan apa yang dipikirkan Malik serta apa yang mereka usulkan untuk dilakukan" buat membebaskan Indonesia dari komunisme melalui gerakan politik baru yang mereka pimpin, yang disebut
Kap-Gestapu.
Tim Weiner juga menulis, "Pada pertengahan bulan Oktober 1965, Malik mengirimkan seorang pembantunya ke kediaman perwira politik senior kedutaan, Bob Martens, yang pernah bertugas di Moskow ketika Malik juga bertugas di sana sebagai diplomat Indonesia. Martens menyerahkan kepada utusan Malik itu sebuah daftar yang tidak bersifat rahasia, yang berisi nama 67 pemimpin PKI, sebuah daftar yang telah dia rangkum dari kliping-kliping surat kabar komunis."
Pada bagian lain disebutkan juga bahwa Duta Besar Green, McGeorge Bundy (Penasihat Keamanan Nasional) dan Bill Bundy (Asisten Menlu untuk Timur Jauh), melihat Suharto dan Kap-Gestapu layak mendapat bantuan AS. Namun Duta Besar Green mengingatkan bahwa bantuan itu tidak boleh berasal dari Pentagon atau Deplu. Program bantuan itu tidak akan bisa dirahasiakan; risiko politisnya sangat besar.
Akhirnya disepakati bahwa uang itu harus ditangani oleh CIA .
Mereka sepakat untuk mendukung militer Indonesia dalam bentuk bantuan obat-obatan senilai US$ 500.000 yang akan dikirimkan melalui CIA dengan pengertian bahwa angkatan darat akan menjual obat-obatan tersebut untuk mendapatkan uang tunai.
Dubes Green, setelah berunding dengan Hugh Tovar, mengirimkan pesan telegram kepada Bill Bundy, yang merekomendasikan pembayaran uang dalam jumlah yang cukup besar kepada Adam Malik:
"Ini untuk menegaskan persetujuan saya sebelumnya bahwa kita menyediakan uang tunai sebesar Rp 50 juta (sekitar $ 10 ribu) buat Malik untuk membiayai semua kegiatan gerakan Kap-Gestapu. Kelompok aksi yang beranggotakan warga sipil tetapi dibentuk oleh militer masih memikul kesulitan yang diakibatkan oleh semua upaya represif yang sedang berlangsung...
Kesediaan kita untuk membantu dia dengan cara ini, menurut saya , akan membuat Malik berpikir bahwa kita setuju dengan peran yang dimainkannya dalam sebuah kegiatan anti-PKI, dan akan memajukan hubungan kerja sama yang baik antara dia dan angkatan darat.
Kemungkinan terdeteksinya atau terungkapnya dukungan kita dalam hal ini sangatlah kecil, sebagaimana setiap operasi "tas hitam" yang telah kita lakukan."
Tim Weiner juga menulis, "Sebuah gelombang besar kerusuhan mulai meningkat di Indonesia. Jenderal Suharto dan gerakan Kap-Gestapu telah membunuh begitu banyak orang. Dubes Green kemudian memberi tahu Wapres Hubert H Humprey dalam sebuah pembicaraan di kantor wakil presiden di Gedung Capitol bahwa "300.000 sampai 400.000 orang telah dibantai" dalam "sebuah pertumpahan darah besar-besaran".
Wakil Presiden menyebutkan bahwa dia telah mengenal Adam Malik selama bertahun-tahun, dan Dubes memujinya sebagai "salah satu orang terpintar yang pernah dia temui." Malik dilantik sebagai menteri luar negeri, dan dia diundang untuk berbincang-bincang selama 20 menit dengan Presiden Amerika di Oval Office. Mereka menghabiskan waktu berbincang-bincang tentang Vietnam.
Pada akhir pembicaraan mereka, Lyndon Johnson mengatakan bahwa dia memiliki perhatian amat besar tentang perkembangan di Indonesia dan dia mengirimkan salam hangatnya untuk Malik dan Suharto. Dengan dukungan AS, Malik kemudian terpilih menjadi ketua Sidang Umum PBB." (dtk/suaramedia)
Soekarno, Supersemar dan Djas MerahJakarta - Peralihan kepemimpinan Soekarno ke Soeharto berawal dari adanya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Soekarno paham betul dia 'ditelikung' Soeharto gara-gara surat itu. Maksud hati ingin memberi perintah pengamanan belaka, apa daya malah terjadi 'pengalihan kekuasaan'.
Soekarno sendiri dalam beberapa pidatonya pasca penyerahan Supersemar, menegaskan bahwa surat perintah itu bukanlah penyerahan kekuasaan. Dia tetap Presiden RI yang sah.
Pada 1 April 1966, atau beberapa minggu setelah 11 Maret, Soekarno berpidato di Masjid Istiqlal dalam peringatan Idul Adha. "President Soekarno has not been toppled, Presiden Soekarno tidak digulingkan. President Soekarno has not been ousted. Presiden Soekarno tidak ditendang keluar. President Soekarno is still president."
Namun penegasannya yang terkenal tertulis dalam naskah pidato terakhir Soekarno sebagai presiden pada tanggal 17 Agustus 1966 yang berjudul 'Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah' atau 'Djas Merah'.
"Dikiranja SP 11 Maret itu suatu 'transfer of authority', padahal SP 11 Maret adalah satu perintah pengamanan," ujar Soekarno seperti tercantum dalam naskah.
Soekarno dalam pidatonya merasa kecewa terhadap Soeharto yang salah mengartikan Supersemar. Menurut Soekarno, Supersemar itu ditujukan untuk melakukan antisipasi langkah-langkah pengamanan terhadap dirinya, pengamanan terhadap ajaran yang dipegangnya dan pengamanan terhadap pemerintahan yang berkuasa.
"Bukan penjerahan pemerintahan! Bukan Transfer of Authority!" ujar Soekarno.
Jika seluruh isi teks dicermati, tampak kemarahan yang luar biasa ditunjukkan oleh Soekarno. Sambil sesekali memekikkan semangat perjuangan, ia juga secara eksplisit menuding Soeharto sebagai biang kehancuran pemerintahan yang ditampuknya.
"Mereka ketjele sama sekali! Dan sekarang pun, pada hari Proklamasi sekarang ini mereka ketjele lagi! Lho, Soekarno masih Presiden! Soekarno pemimpin besar revolusi! Soekarno masih mandataris MPRS! Soekarno masih Perdana Menteri! Soekarno masih berdiri lagi di mimbar ini!" pekiknya.
Dalam pidato 10 Desember 1966 di Istora Senayan, Soekarno kembali menegaskan pesan serupa. "It (Supersemar) is not a transfer of authority kepada General Soeharto. Ini sekadar perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk menjamin jalannya pemerintahan, untuk ini, untuk itu, untuk itu."(mad/nrl/detik)
http://www.detiknews.com/read/2008/12/05/100900/1048572/10/soekarno-supersemar-dan-djas-merah