Today :

Not found what you looking for?:

Diposting oleh PUTRA BETAWI

Published on Sabtu, 25 April 2009

FPI JADI PARTAI ?

Al-Habib Muhammad Rizieq Syihab

-Ketua Umum FPI

-Kandidat Doktor bidang Shariah Islam di Universiti Malaya

Tidak ! FPI tidak boleh jadi Partai, dan Insya Allah tidak akan pernah jadi Partai. Itu adalah amanat para Pendiri FPI saat dideklarasikan pada 24 Rabi’ Ats-Tsani 1419 H / 17 Agustus 1998. Namun, sesuai AD/ART organisasi, tidak menutup kemungkinan FPI mendirikan Partai sebagai saluran aspirasi umat Islam yang ingin menegakkan Syariat Islam secara Kaaffah. Itulah yang direkomendasikan Munas II FPI yang berlangsung pada 9-11 Desember 2008 yang baru lalu.

Rekomendasi Munas II FPI tentang kajian pendirian Partai semula menjadi pro-kontra dalam internal organisasi, namun setelah menjadi Ketetapan Munas, maka suka tidak suka semua aktivis FPI mesti tunduk kepada Hasil Munas, karena karakter dan tradisi di FPI selalu menjunjung tinggi Musyawarah untuk Mufakat. Rekomendasi tersebut ditanggapi beragam oleh kalangan politisi nasional mau pun pengamat, ada yang menyambut positif, tapi tidak sedikit yang ”sinis”.

Komentar yang sangat berharga datang dari Ust.Adian Husaini, MA, salah seorang Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) : ”Ada sekian banyak cara dan jalur perjuangan untuk penegakan Syariat Islam atau pembelaan terhadap Islam. Bukan berarti FPI harus ada di setiap jalur atau mengisi semua jalur . Jalur Partai Politik sudah penuh. Lebih efektif bila FPI memperkuat infrastruktur perjuangannya, misalnya dengan mendirikan media radio, koran atau TV. Apalagi memiliki Media Islam termasuk Fardhu Kifayah.” Komentar tersebut sangat argumentatif, bahkan konstruktif, karena disampaikan dengan cerdas dan lugas yang didasarkan kepada cinta dan persaudaraan. Sang komentator muda ini memang jenius, ia pakar dalam pemikiran Islam, dan sangat piawai menjawab berbagai hujatan kaum liberal terhadap Islam melalui penguasaan literatur orientalis yang komprehensif. Terima Kasih Ustadz Adian.

Berbeda dengan komentar M.Guntur Romli, anggota AKKBB yang menjadi Biang Kerok Insiden Monas : ”Bagus keinginan mendirikan Parpol daripada FPI melakukan tindakan anarkis. Pertanyaannya siapa yang mau memilih FPI yang sudah identik dengan kekerasan ?! Kalau mau menjadi parpol pakai nama lain saja, dan kalau ingin menjadi lembaga da’wah gunakan nama lain juga, jangan FPI !” Komentar ini sangat sentimentatif, karena disampaikan dengan keterbelakangan intelektual dan emosional yang didasarkan kepada benci dan permusuhan. Itu tidak aneh, karena sang komentator yang satu ini memamg seorang rasis yang pernah menulis di Koran Tempo 4 Mei 2007 bahwa Al-Qur’an adalah hasil gotong royong antara Allah, malaikat Jibril dan nabi Muhammad. Dan di Kompas 1 September 2007 ia menyatakan bahwa kenabian Muhammad disiapkan oleh kaum Kristen dan Siti Khadijah adalah Santo Kristen. Jadi, kwalitas keimanan dan kadar intelektualnya memang sangat rendah, sehingga produk akalnya hanya menjadi sampah. Kasihan.

Disana masih banyak komentar-komentar lain, insya Allah akan dimuat secara tersendiri dalam kolom Pro Kontra ”Partai FPI” di Website ini.

Selama sepuluh tahun ini, sikap politik FPI jelas, yaitu mendukung sepenuhnya semua Partai Islam, dan dalam setiap Pemilu hanya menyalurkan suara ke Partai Islam. Lalu, kenapa kini FPI ingin mendirikan Partai sendiri ? Saya melihat, fenomena pendirian Partai bagi FPI, merupakan akumulatif kekecewaan kawan-kawan FPI di berbagai daerah terhadap kinerja Partai-Partai Islam selama ini.

Dua Ramadhan lalu, saya pernah membahas kekecewaan tersebut bersama beberapa petinggi sejumlah Partai Islam saat sahur bersama di sebuah Pondok Pesantren di Jakarta. Hasil diskusi cukup bagus, namun sayang implementasinya tidak jelas.

Inti kekecewaan sebenarnya terletak pada jurang perbedaan pemahaman pola pikir antara Partai dan Umat di bawah (Awam). Partai lebih fokus kepada "hukum" (ijtihad politik), sedang Awam terpaku pada "etika". Apa beda hukum dan etika ? Sebagai ilustrasi, jika seorang Ulama dengan atribut keulamaannya bermusafir di bulan Ramadhan, lalu makan siang di sebuah restoran, maka secara "hukum" dia tidak salah karena musafir boleh tidak berpuasa, namun secara "etika" sulit diterima oleh Awam karena Ulama adalah panutan.

Gambaran seperti itulah yang terjadi di tengah gerakan Partai-Partai Islam yang disaksikan Awam selama ini. Antara lain :

1. Tatkala berbagai Ormas Islam dan sejumlah Partai Islam sedang mati-matian memperjuangkan pengembalian Piagam Jakarta di DPR/MPR RI, justru ada Partai Islam lain yang menggebu-gebu mementahkannya dengan dalih memperjuangkan Piagam Madinah, dan seorang Petinggi Partai Islam lainnya memberi pernyataan bahwa Piagam Jakarta adalah masa lalu, dan yang lainnya lagi menyatakan amandemen UUD 1945 sudah final. Secara ijtihad politik sah-sah saja, namun secara etika membingungkan Awam.

2. Tatkala sejumlah Partai Islam telah sepakat membangun Fraksi Islam di DPR/MPR RI sebagai wujud persaudaraan dan persatuan, tiba-tiba ada Partai Islam yang lebih suka berkoalisi dengan Partai lain dengan dalih reformasi. Secara ijtihad politik bisa dijelaskan, namun secara etika mengagetkan Awam.

3. Sejumlah Partai Islam saat kampanye berteriak mengharamkan Presiden Wanita, tapi ketika mereka harus menggulingkan Presiden Pria dengan konsekwensi Presiden Wanita yang naik, mereka kerjakan juga dengan dalih "darurat". Padahal mereka punya alternatif untuk memperjuangkan Pemilu Ulang, tapi kenyataannya tidak ada formulasi perjuangan politik ke arah sana, bahkan mereka ikut bagi-bagi kue kekuasaan bersama Presiden Wanita yang semula mereka haramkan. Secara ijtihad politik bisa dipahami, namun secara etika sulit diterima Awam.

4. Sejumlah Partai Islam saat kampanye berkomitmen hanya akan mengajukan caleg muslim, namun kenyataannya mereka mengajukan caleg-caleg non muslim di sejumlah daerah dengan dalih terpaksa karena daerah mayoritas non muslim, padahal di daerah tersebut masih ada orang Islam yang bisa dicalonkan. Secara ijtihad politik bisa didiskusikan, namun secara etika menghilangkan kepercayaan Awam.

5. Ada politisi wanita senior dari Partai Islam tidak pernah mengenakan busana muslimah sebagaimana mestinya, dia hanya mencukupkan diri dengan kebaya dan kerudung ala kadarnya, dalihnya Islam tidak boleh dipaksakan dan perlu tahapan dalam penerapannya, yang penting sopan. Secara ijtihad politik mungkin masih ada ruang debat, namun secara etika tidak mudah dimengerti oleh Awam.

6. Ada petinggi Partai Islam yang istrinya tidak berjilbab dan dipamerkan di depan Awam secara terbuka, alasannya masih dalam proses da'wah. Secara ijtihad politik bisa dimengerti selama da'wah terhadap sang istri tetap berjalan, namun secara etika membingungkan Awam.

7. Saat berbagai Ormas Islam dan sebagian Partai Islam memperjuangkan Pembubaran Ahmadiyah, terlihat jelas sebagian Partai Islam lainnya tidak punya semangat untuk itu, kecuali sekedar andil buat pernyataan di media, atau menyurati Presiden secara sembunyi-sembunyi, tanpa langkah konkrit yang menggigit. Bahkan ada Partai Islam yang tidak ambil bagian dalam Aksi Sejuta Umat untuk Pembubaran Ahmadiyah, kecuali sekedar pasang Bendera dan Spanduk serta membagi-bagi Selebaran. Secara ijtihad politik bisa dipahami sebagai sebuah strategi, namun secara etika menyakitkan Awam.

8. Saat berbagai Ormas Islam yang Anti Ahmadiyah dan Pro RUU APP berhadap-hadapan secara terbuka dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama (AKKBB) yang Pro Ahmadiyah dan Anti RUU APP, justru ada Partai Islam yang memberi penghargaan kepada sejumlah Tokoh AKKBB.

9. Saat ada kepentingan Partai yang dirugikan atau ada agenda Partai yang harus diusung, ada Partai Islam mampu melakukan aksi unjuk rasa dengan ratusan ribu manusia, namun tatkala ada kepentingan Umat atau ada agenda penting Umat yang mesti diusung, mereka enggan menurunkan seorang pun dari massa mereka. Secara ijtihad politik bisa dimaklumi karena adanya rambu-rambu politik, namun secara etika sangat mengecewakan Awam.

10. Saat berbagai Ormas Islam ingin menyalurkan aspirasi melalui DPR RI, terkadang sulit menemui para sahabatnya dari kalangan Partai Islam, bahkan ada yang enggan menerima karena menganggap bukan dari ”kelompok”nya. Padahal, Ormas-Ormas Islam inilah pensuplay suara terbesar bagi Partai-Partai Islam tersebut saat Pemilu. Inilah yang paling tidak dimengerti oleh Awam.

Aneka Fakta di atas, kiranya cukup membuat Awam menilai bahwa Partai Islam sama dengan Partai sekuler lainnya, bahkan ada yang menilai bahwa Partai Islam hanya Jualan Islam, sehingga Awam tidak merasa ada beban saat meninggalkan Partai Islam. Parahnya lagi, kini ada Partai Islam yang didirikan dengan susah payah oleh seorang Kyai Kondang, yang kemudian setelah ditinggal pergi oleh sang Kyai, kini justru menjadi penampungan bagi aktivis kiri yang berhaluan komunis. Masalah menjadi semakin runyam bagi Awam ketika Partai-Partai Sekuler ikut Jualan Islam dengan berbagai macam cara dan teknik. Mereka ramai-ramai mendirikan Majelis Dzikir Politik, Ta’lim Politik, Iqra’ Politik, Istighotsah Politik, Maulid Politik, Umrah dan Haji serta Ziarah Politik, dan sebagainya.

Ketidak-mengertian Awam terhadap strategi dan trik politik Partai Islam membuat mereka kebingungan, sehingga tidak heran jika terjadi peningkatan apatisme politik di kalangan Awam terhadap Partai Islam. Jangankan Awam, terkadang elite Ormas Islam saja kebingungan menafsirkan manuver politik Partai-Partai Islam. Inilah yang mendorong Awam tertarik dengan sikap tidak menggunakan hak pilih alias Golput (Golongan Putih).

Sungguh tidak Arif jika kita menyalahkan Awam, apalagi sampai membodoh-bodohkan mereka. Dengan jujur harus kita akui bahwa Awam ini kelompok yang lugu dan polos, dan harus diakui pula bahwa Awam ini adalah ”Pemilih” yang sangat menentukan, sehingga mereka wajib dihargai dan dihormati.

Dan sangat tidak Bijak, jika kita tiba-tiba ingin menakut-nakuti Awam dengan Fatwa Golput Haram hanya untuk kepentingan politik. Mestinya Partai-Partai Islam instrospeksi diri, turun langsung dan tanya aspirasi Awam sebagai pemilih. Lagi pula Golputnya Awam tidak sama dengan Golputnya para Oportunis Politik. Awam Golput karena mencari kebenaran untuk ditegakkan, sedang Oportuis Politik Golput karena mencari pembenaran untuk kepentingan.

Kita jangan sombong dengan mengabaikan aspirasi Awam. Jangan pula angkuh dengan menganggap kecil kekuatan Awam. Dan jangan sekali-kali takabbur, karena pasti akan hancur.

Apa yang menimpa Awam di atas, itu pulalah yang menimpa Awam FPI di berbagai daerah. Mereka kecewa karena merasa dikhianati, lalu mereka tumpahkan ”uneg-uneg” mereka dalam Munas II FPI, akhirnya lahirlah Rekomendasi tentang Kajian Pendirian Partai Islam sendiri sebagai wadah aspirasi bagi segenap Aktivis FPI dan keluarganya, termasuk untuk simpatisan FPI di seluruh pelosok Indonesia. Partai yang mereka harapkan adalah Partai Islam yang memiliki ruh Revolusi Islam, yang hanya melaksanakan Politik Syariat bukan Politik Kepentingan, yang tujuannya hanya ridho Allah SWT semata, sehingga urusan ”dipilih tidak dipilih” dan ”menang kalah” bukan agenda penting lagi.

Mereka menginginkan Partai Islam yang secara terbuka, tanpa ragu apalagi malu, mengumumkan bahwa visi misinya adalah Tegaknya Diinullah di atas muka Bumi, dan programnya jelas untuk memberlakukan Syariat Islam, serta tidak setengah hati untuk memberangus segala bentuk ma’siat, apalagi terkait aqidah seperti Pembubaran Ahmadiyah. Singkatnya, mereka menghendaki Partai Revolusi Islam yang siap melakukan Revolusi di segala bidang, karena krisis multi dimensi yang melanda negeri sudah kompleks dan kronis, tidak bisa lagi diobati dengan Pil Reformasi, tapi harus diberi Suntikan Revolusi. Dan bukan sembarang Revolusi, tapi Revolusi Islam yang berdiri atas dasar Iman dan Taqwa kepada Allah SWT.

Namun demikian pendirian Partai Islam baru tersebut memerlukan kajian yang mendalam dan komprehensif atas kondisi partai partai Islam yang ada. Harapan kami masukan-masukan di atas bisa diambil sebagai nasihat untuk saudara-saudara kami di Partai-Partai Islam, karena walau bagaimana pun juga memaksimalkan fungsi Partai-Partai Islam yang ada sebagai saluran aspirasi umat Islam yang ingin menegakkan Syariat Islam secara Kaaffah, adalah jauh lebih baik daripada mendirikan Partai Islam Baru. Apalagi jika bisa menyatukan semua Partai Islam menjadi satu Partai Tunggal atau setidak-tidaknya membangun Koalisi Permanen.

Jadi kesimpulannya, bukan FPI jadi Partai sebagaimana diberitakan sejumlah media, melainkan FPI berencana membentuk Partai. Aturan Khusus FPI jelas, sejak didirikan hingga sekarang, barangsiapa menjabat Ketua FPI baik di tingkat Pusat mau pun Daerah, termasuk Wilayah dan Cabang, ingin bergabung dengan Partai mana pun maka ia harus melepaskan jabatannya, termasuk jika ada Partai yang dibentuk oleh FPI sendiri sekali pun. Karena itu, ke depan, baik FPI membentuk Partai atau pun tidak, FPI tetap FPI, sebagai Organisasi Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Tidak akan berubah, Insya Allah.

Tulisan ini sudah dimuat di Tabloid SUARA ISLAM edisi 57 tgl. 19 Desember 2008 – 2 Januari 2009, hal. 28 dengan judul Partai Partai Jualan Islam.

Disini dimuat dengan sedikit revisi dan tambahan yang diperlukan.

Rumah Tahanan Polda, 16 Dzulqa’dah 1429 H / 14 Desember 2008 M.

0 komentar:

Posting Komentar