Today :

Not found what you looking for?:

Diposting oleh PUTRA BETAWI

Published on Minggu, 16 Februari 2014

Sekilas Kisah Pahlawan Nasional Usman & Harun

Jakarta – KabarNet: Tentara Nasional Indonesia menyematkan dua nama Pahlawan Dwikora, Usman dan Harun pada kapal perang Angkatan Laut Indonesia yang baru. Dua nama prajurit tersebut bukanlah orang sembarangan. Keduanya  anggota Korps Komando Operasi (KKO), kini disebut ‘Marinir’ berpangkat sersan dua dan kopral. Penyematan nama Usman Harun tak lepas dari bobot pengabdian dan pengorbanan keduanya hingga mendapat gelar pahlawan.
Usman Bin Haji Ali alias Djanatin sebagai prajurit pemberani yang menyusup ke Singapura bersama rekannya, Harun alias Tohir Bin Mahdar. Mereka berdua berhasil meletakkan bom di pusat kota Singapura.
Pemerintah Singapura akhirnya menangkap keduanya dan menjatuhkan hukuman mati kepada mereka. Namun nama Usman dan Harun tetap abadi karena Indonesia menganugerahkan gelar pahlawan nasional. Kini penghormatan negara atas keduanya makin kokoh dengan disematkannya nama Usman dan Harun pada KRI yang akan tiba di tanah akhir 2014 ini.
Keduanya gugur setelah dihukum mati di tiang gantung oleh Singapura pada 17 Oktober 1968. Mereka didakwa meledakkan bom di Macdonald House. Usman dan Harun meledakkan gedung di Jalan Orchard Singapura itu atas perintah negara. Kisah heroik ini bermula tiga tahun sebelum dieksekusi di Singapura.
Tahun 1965, Harun dan Usman mendapat misi rahasia dari negara: menyusup ke Singapura dan meledakkan bom di jantung negeri itu. Saat itu, Indonesia tengah terlibat konfrontasi dengan Malaysia, dan Singapura masih menjadi bagian negeri jiran.
Bersama Usman dan Gani bin Arup, 10 Maret 1965, Harun  berhasil menembus pertahanan negeri itu. Target mereka adalah MacDonald House di Jalan Orchad Road. Gedung berlantai 10 ini merupakan kantor Hongkong and Shanghai Bank. Saat itu, hujan turun sangat deras dengan petir yang sambar menyambar. Mereka lalu meletakkan bom di dekat lift.
Tujuh menit setelah layanan bank tutup, tepatnya pukul 15.07 waktu setempat, bom meledak menewaskan tiga orang,  sedangkan 33 orang terluka parah. Ledakan dahsyat itu merobek pintu lift dan menghancurkan gedung tersebut. Reruntuhan tembok menimpa 150 karyawan bank yang sedang menyelesaikan tugasnya. Meja, kursi dan mesin ketik terpental hingga ke jalan.
Setelah menyelesaikan misi, Usman dan Harun berusaha keluar Singapura. Mereka mencoba menumpang kapal-kapal dagang yang hendak meninggalkan Singapura, namun tidak berhasil.
Pemerintah Singapura mengerahkan seluruh armadanya untuk memblokade Selat Malaka. Usman dan harun dikepung, hampir tidak ada kesempatan untuk kabur. Kemudian, Usman dan Harun mengambil alih kapal motor. Malang, di tengah laut kapal tersebut mogok. Mereka tidak bisa lari dan ditangkap oleh petugas patroli Singapura.
Keduanya dijebloskan ke penjara. Hakim mengganjar mereka dengan hukuman gantung atas kasus pembunuhan, penggunaan bahan peledak, dan melakukan tindakan terorisme. Pemerintah Indonesia mencoba banding dan mengupayakan semua bantuan hukum dan diplomasi. Semua upaya itu buntu karena ditolak Singapura.
Akhirnya pada hari Kamis tanggal 17 Oktober 1968, keduanya dikeluarkan dari sel mereka. Dengan tangan terborgol, dua prajurit itu dibawa ke tiang gantung di dalam penjara Changi, Singapura. Tepat pukul 06.00 pagi waktu setempat, keduanya gugur di tiang gantung.
Pada hari yang sama Presiden Soeharto langsung memberikan gelar pahlawan nasional bagi keduanya. Sebuah Hercules diterbangkan untuk menjemput jenazah keduanya. Pangkat mereka dinaikkan satu tingkat secara anumerta. Mereka juga mendapat bintang sakti, penghargaan paling tinggi di republik ini. Setelah tiba di Jakarta, ratusan ribu orang mengiringi jenazah mereka dari Kemayoran, Markas Hankam, hingga Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Saat Jenazah Usman Harun tiba di Jakarta
Saat Jenazah Usman Harun tiba di Jakarta
Sebelum dihukum gantung oleh pemerintah Singapura, Sersan Usman Janatin sempat mengirimkan surat terakhir kepada kedua orang tuanya dan keluarganya. Isi surat yang saat ini sudah ditulis ulang tersebut berisi tentang permohonan maaf dan menyampaikan berita duka setelah permohonan ampunan tidak dikabulkan pemerintah Singapura.
Berikut isi surat terakhir Usman Janatin yang dituliskan sewaktu dia di dalam penjara Changi, Singapura:
Changi prison, 16 Oktober 1968
Dituturkan
Bunda ni Hadji Mochamad Ali;
Tawangsari
Dengan ini anaknda kabarkan bahwa hingga sepeninggal surat ini mendo’akan Bunda, Mas Chuneni, Mas Matori, Mas Chalimi, ju Rochajah, ju Rodijah dan Tur serta keluarga semua para sesepuh Lamongan dan Purbalingga serta Laren Bumiayu.
Berhubung tuduhan dinda yang bersangkutan dengan nasib dinda dalam rajuan memberi ampun kepada Pemerintah Republik Singapura tidak dikabulkan, maka perlu anaknda haturkan berita-duka kepangkuan Bunda dan keluarga semua disini, bahwa pelaksanaan hukuman mati keatas anaknda telah diputuskan pada 17 Oktober 1968 hari Kamis.
Sebab itu sangat besar harapan anaknda menghaturkan Sujud dihadapan Bunda, Mas Chuneni, Mas Matori, Mas Chalimi, Ju Rochajah, Ju Rodijah dan Turijah, para sesepuh Lamongan, Purbalingga dan Laren Bumiayu, Tawangsari dan djatisaba; sudi kiranja mechichlaskan mohon ampun dan maaf atas semua kesalahan yang anaknda sengaja maupun jang tidak anaknda sengaja.
Anaknda “disana” tetap memohonkan keampunan dosa dan kesalahan Bunda dan Saudara semua di Lamongan,Purbalingga dan Laren Bumiayu, Tawangsari dan Djatisaba; pegampunan kepada tuhan Yang Maha Kuasa. Anaknda harap dengan tersiarnja kabar jang menjedihkan ini tidak akan menjebabkan akibat jang tidak menjenangkan, bahkan jang telah menentukan nasib anaknda sedemikian umurnja.
Sekali lagi anaknda mohon ampun maaf atas kesalahan dosa anaknda kepangkuan Bunda, Mas Chuneni, Mas Matori, Mas Chalimi, Ju Rochajah, Ju Rodijah dan Turijah, dan keluarga Tawangsari, Lamongan, Djatisaba Purbalingga dan Laren Bumiayu.
Anaknda
TTD
Oesman b,H,Moch. Ali, al, Janatin,-  [Garuda Militer]
”JIKA DIPERINTAH, KKO SIAP MEREBUT SINGAPURA!!..” ujar Komandan KKO waktu itu Mayjen Mukiyat geram di dekat jenazah anak buahnya. Dalam buku ‘Singapura Basis Israel Asia Tenggara’, Rizki Ridyasmara menuliskan; “Kala itu bahkan terdengar suara bahwa KKO sudah siap menyerang Singapura dan dalam tempo dua jam sanggup menenggelamkan negara kecil tersebut ke dasar Selat Malaka”.
Dalam buku setebal 212 halaman tersebut, Rizki menuliskan, ancaman KKO tersebut bukan gertakan semata. Saat itu, kekuatan armada perang Republik Indonesia warisan Presiden Soekarno sangat ditakuti di Asia Tenggara.
Pemerintah menghormati jasa dua prajurit tersebut. Berdasar SK Presiden RI No.050/TK/Tahun 1968, Tanggal 17 Oktober 1968, Sersan Usman Mohamed Ali dan Kopral Harun Said ditetapkan sebagai pahlawan nasional.

Gani bin Arup?

Selain Usman Bin H Ali alias Djanatin dan Harun alias Tohir Bin Mahdar, ada nama Gani bin Arup dalam peristiwa pengeboman hotel MacDonald di Singapura. Berbeda dengan Usman dan Harun, Gani bisa lolos dari kejaran aparat Singapura. Bagaimana kisahnya?
Dalam catatan sejarah yang dimiliki Korps Marinir, nama Gani muncul sebagai salah satu sukarelawan untuk misi pembebasan Irian Barat atau Dwikora bersama Harun. Usman lalu mendampinginya sebagai perwakilan dari Korps Komando Operasi (KKO). Mereka sempat mendapat pendidikan khusus di Cisarua, Bogor.
Menurut dokumen tersebut, Usman, Harun dan Gani adalah sahabat akrab hingga akhirnya mereka mendapat tugas untuk melakukan sabotase di Singapura di masa konfrontasi. Usman didapuk sebagai komandan tim dibantu oleh Harun yang punya pengalaman banyak di Singapura karena pernah jadi pelaut dan tinggal di sana. Ketiganya lalu menyamar jadi pedagang di wilayah Singapura. Mereka juga sempat mengganti nama masing-masing untuk mengelabui pasukan lawan.
Di tengah malam, tanggal 10 Maret 1965 di saat kota Singapura mulai sepi, mereka memutuskan untuk melakukan peledakan di Hotel MacDonald. Letaknya yang strategis di Orchard Road, menjadi pertimbangan utama. Mereka memasang bahan peledak seberat 12,5 kg dan akhirnya meledak. Beberapa bangunan rusak dan 3 orang meninggal dunia, sementar 33 lainnya luka-luka.
Setelah melakukan aksi, ketiganya sempat berkumpul dan mencari cara kembali ke pangkalan. Akhirnya diputuskan mereka berpencar. Usman dan Harun, sedangkan Gani bergerak sendiri. Sebelum berpisah, Usman meminta kedua rekannya untuk melaporkan hasil tugas ke atasan, siapa pun yang lebih dulu tiba di induk pasukan.
Ternyata, Gani bisa kembali ke pangkalan dan lolos dari aparat Singapura. Namun sayang, Usman dan Harun tertangkap. Mereka sempat hendak melarikan diri menumpang kapal, namun ketahuan oleh nakhoda. Akhirnya mereka naik perahu motor, namun di tengah jalan perahu itu mogok.
Tidak disebutkan secara jelas bagaimana Gani bisa lolos dari Singapura. Lalu bagaimana sepak terjangnya selama di Indonesia kini. Yang pasti, dia disebut pernah hadir ke pemakaman Usman dan Harun di TMP Kalibata. Kakak kandung Usman, Siti Rodiah, menyebut Gani adalah sosok yang paling kehilangan saat proses pemakaman. Bahkan dia histeris hingga perlu ditenangkan rekan-rekannya. Sebuah foto merekam momen haru ini dan tersimpan dalam dokumentasi Rodiah. “Kalau tidak salah itu Gani,” katanya sambil memperlihatkan foto tersebut di kediamannya di Purbalingga.
Foto Gani yang dimaksud
Foto Gani dalam dokumentasi Rodiah
Bagaimana kabar tentang Gani sekarang? Kadispen TNI AL Laksamana Pertama Untung Surapati memastikan pria tersebut sudah meninggal dunia. Namun tak banyak catatan yang dimiliki pihaknya karena Gani lebih banyak menjalani misi rahasia. “Bedanya Gani, karena misi-misi rahasia dia memisahkan diri. Termasuk kembalinya dia berpisah, dia selamat, dan ini sosoknya di lingkungan Korps Marinir misterius. Keluarganya misterius, termasuk alamat keluarganya”,.. [KbrNet/Viva]

Peristiwa Pengeboman MacDonald House 1965


0 komentar:

Posting Komentar