Washington (ANTARA News/AFP) - Amerika Serikat siap memberlakukan sanksi baru atas Iran jika perundingan internasional mengenai program senjata nuklir, yang dicurigai, gagal, kata seorang pejabat Departemen Keuangan AS, Selasa.
"Pemerintah Kini telah memperlihatkan bahwa pihaknya memiliki komitmen bagi penyelesaian diplomatik mengenai masalah masyarakat internasional dengan Iran," kata Wakil Menteri Keuangan Stuart Levey kepada Komite Perbankan Senat.
"Dunia kini bersatu dalam menunggu reaksi Iran. Jika Iran tak melaksanakan kewajibannya dalam proses ini, negara itu akan memikul tanggung jawab atas hasilnya," kata Levey.
"Dalam kondisi ini, Amerika SerikAt akan berkewajiban untuk beralih ke sanksi yang lebih keras," katanya.
Sebagai wakil menteri urusan intelijen keuangan dan terorisme, Levey mengawasi upaya departemen tersebut untuk membendung arus dana ke pelaku teror internasional dan penyebar senjata pemusnah massal.
"Kami akan meningkatkan kegiatan bersama sekutu kami dan mitra lain guna menjamin bahwa jika kami harus mengambil jalur ini, kami akan melakukannya dengan sebanyak mungkin dukungan internasional," katanya.
"Kami sekarang akan menunggu untuk melihat apakah Iran mengikuti kata-kata konstruktifnya dengan tindakan nyata. Jika tidak, dan jika presiden memutuskan bahwa tekanan tambahan diperlukan, kami akan siap bertindak, idealnya bersama mitra internasional kami."
Levey, yang mengatakan ia tidak dalam posisi untuk memberi perincian mengenai rencana Departemen Keuangan, hanya bersedia mengatakan departemen itu telah menyelesaikan pekerjaan mengenai rencana tersebut.
Ia mengatakan, sanksi yang sudah diberlakukan memberi hasil, dan Iran memperlihatkan "kerentanan ekonomi" tertentu, keadaan yang dapat ditekan oleh Amerika Serikat.
"Kami akan perlu memberlakukan tindakan secara berbarengan dalam bermacam bentuk agar efektif," katanya.
Iran mengadakan pembicaraan nuklir pekan lalu dengan negara besar dunia, kendati banyak pejabat mengatakan terlalu dini untuk meramalkan hasil dari semua perundingan itu.
Republik Islam tersebut akan menyelenggarakan pembicaraan lagi pada 19 Oktober dengan para pejabat dari Inggris, China, Prancis, Jerman, Rusia dan Amerika Serikat.(*)
"Pemerintah Kini telah memperlihatkan bahwa pihaknya memiliki komitmen bagi penyelesaian diplomatik mengenai masalah masyarakat internasional dengan Iran," kata Wakil Menteri Keuangan Stuart Levey kepada Komite Perbankan Senat.
"Dunia kini bersatu dalam menunggu reaksi Iran. Jika Iran tak melaksanakan kewajibannya dalam proses ini, negara itu akan memikul tanggung jawab atas hasilnya," kata Levey.
"Dalam kondisi ini, Amerika SerikAt akan berkewajiban untuk beralih ke sanksi yang lebih keras," katanya.
Sebagai wakil menteri urusan intelijen keuangan dan terorisme, Levey mengawasi upaya departemen tersebut untuk membendung arus dana ke pelaku teror internasional dan penyebar senjata pemusnah massal.
"Kami akan meningkatkan kegiatan bersama sekutu kami dan mitra lain guna menjamin bahwa jika kami harus mengambil jalur ini, kami akan melakukannya dengan sebanyak mungkin dukungan internasional," katanya.
"Kami sekarang akan menunggu untuk melihat apakah Iran mengikuti kata-kata konstruktifnya dengan tindakan nyata. Jika tidak, dan jika presiden memutuskan bahwa tekanan tambahan diperlukan, kami akan siap bertindak, idealnya bersama mitra internasional kami."
Levey, yang mengatakan ia tidak dalam posisi untuk memberi perincian mengenai rencana Departemen Keuangan, hanya bersedia mengatakan departemen itu telah menyelesaikan pekerjaan mengenai rencana tersebut.
Ia mengatakan, sanksi yang sudah diberlakukan memberi hasil, dan Iran memperlihatkan "kerentanan ekonomi" tertentu, keadaan yang dapat ditekan oleh Amerika Serikat.
"Kami akan perlu memberlakukan tindakan secara berbarengan dalam bermacam bentuk agar efektif," katanya.
Iran mengadakan pembicaraan nuklir pekan lalu dengan negara besar dunia, kendati banyak pejabat mengatakan terlalu dini untuk meramalkan hasil dari semua perundingan itu.
Republik Islam tersebut akan menyelenggarakan pembicaraan lagi pada 19 Oktober dengan para pejabat dari Inggris, China, Prancis, Jerman, Rusia dan Amerika Serikat.(*)
0 komentar:
Posting Komentar