Today :

Not found what you looking for?:

Diposting oleh PUTRA BETAWI

Published on Selasa, 21 Juli 2009

Depag Ingin Rebut Hak Sertifikasi Halal MUI

Kasus rebutan hak sertifikasi halal antara Departemen Agama (Depag) yang dikomandani M Maftuh Basyuni dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), bermula ketika baru-baru ini pemerintah diwakili Dirjen Bimas Islam Depag, Nasaruddin Umar mengajukan RUU Jaminan Produk Halal (JPH) ke DPR.
RUU yang terdiri dari 12 bab, 44 pasal dan 75 ayat itu jelas akan mengeliminasi lembaga audit sertifikasi halal Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI yang selama 20 tahun ini sebagai lembaga yang paling berkompeten dalam sertifikasi halal di Indonesia bahkan dunia.


Sehingga sampai 2006 lalu telah diterbitkan 11.500 sertifikasi halal, padahal saat ini terdapat 80.000 jenis produk makanan termasuk makanan olahan, obat-obatan dan kosmetik yang beredar di Indonesia, sehingga baru 15 persen yang bersertifikat halal MUI.

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa Depag yang menurut KPK termasuk 10 departemen paling korup tersebut ingin merebut hak sertifikasi halal yang selama ini telah menjadi kewenangan MUI ? Jawabannya jelas sangatlah mudah, karena masa depan sertifikasi halal sangatlah “basah”, sehingga para pejabat Depag sama ngiler untuk menguasainya.

Padahal selama ini selain dikenal sebagai “departemen sarang tikus”, Depag dinilai sudah cukup “basar kuyub” dengan menguasai pelaksanaan haji di Indonesia sejak tahun 1951 sebagai regulator sekaligus operator. Maka tidaklah mengherankan jika anggaran Depag di APBN yang minim tersebut tetap menjadi incaran CPNS karena selalu kebanjiran fulus di dalamnya.

Meski sudah cukup basah dengan proyek haji, tetapi sebagian pejabat Depag tetap ingin merebut hak sertifikasi halal yang selama ini menjadi hak MUI. Hal itu menunjukkan para pejabat Depag sama kemaruk dan rakus dengan harta dunia. Padahal seharusnya Depag identik dengan persoalan religius dan akhirat, tetapi kenyataannya malah sebaliknya sama tengelam dalam urusan kejar mengejar kenikmatan dunia yang fana ini.

Mengapa para pejabat Depag tergiur untuk menguasai hak sertifikasi halal ? Pasalnya sebagaimana dikemukakan pada konferensi World Halal Forum (WHF) ke-4 bulan lalu di Kuala Lumpur Malaysia, potensi pasar produk halal dunia terus meningkat. Misalnya tahun 2008 baru mencapai nilai 580 miliar dolar AS, tetapi tahun 2009 ini diprediksi akan naik 9,3 persen menjadi 634 miliar dolar AS (Rp 6.340 triliun) atau 6 kali lipat APBN tahun ini.

Pasar produk halal sebesar itu menjadi konsumsi 1,8 miliar orang penduduk muslim dunia. Pasar produk halal dunia akan terus meningkat dari tahun ke tahun, baik di negara-negara muslim maupun non muslim seperti Eropa dan AS. Maka tidaklah mengherankan jika berhasil menguasai hak sertifikasi halal akan sangat menggiurkan, apalagi Indonesia merupakan negara dengan umat Islam terbesar di dunia yang mencapai 200 juta orang dari 230 juta penduduk Indonesia.

Kalau selama ini kinerja lembaga audit sertifikasi halal dari LPPOM MUI meragukan dan tidak professional, barangkali keinginan Depag untuk menguasainnya masih bisa dimaklumi. Namun ternyata LPPOM MUI dikenal sebagai lembaga sertifikasi halal paling standar dan terbaik di dunia.

Sebagaimana dikatakan Nadratuzzaman Hosen, Direktur LPPOM MUI baru-baru ini, beberapa waktu lalu sebanyak 11 lembaga sertifikasi dari 11 negara seperti AS, Eropa dan Asia sama belajar soal sertifikasi halal. Bahkan selama ini standar sertifikasi halal LPPOM MUI telah digunakan berbagai negara termasuk di Timur Tengah. Hal itu menunjukkan kehebatan kinerja lembaga audit sertifikasi halal LPPOM MUI memang diakui dunia.

Bahkan baru-baru ini para pimpinan MUI diundang Australian Halal Food Services untuk melihat pelaksanaan sertifikasi halal di negara kangguru tersebut. Disana para pemimpin MUI juga mengunjungi pengelola rumah potong hewan, otoritas karantina dan pelayanan inspeksi Australia.

Setelah menilainya, akhirnya MUI mengakui terdapat 8 lembaga sertifikasi halal Australia bagi produk daging ekspor ke Indonesia. Sebab mereka dinilai telah mematuhi aturan dan standarisasi halal MUI. Hal itu dimaksudkan untuk melindungi konsumen muslim Indonesia yang mengkonsumsi daging impor dari Indonesia. Sebab sertifikasi halal merupakan persyaratan yang ditetapkan MUI, termasuk proses pemotongan dan pengolahan daging.

Meskipun diakui profesionalitasnya oleh dunia, namun sebagai lembaga swasta tampaknya pemerintah memandang dengan sebelah mata bahkan bersikap arogan terhadap LPPOM MUI. Terbukti selama ini Rumah Pemotongan Hewan (RPH)) milik pemerintah yang berada dibawah penguasaan pemda setempat, hanya 10 persen yang telah bersertifikasi halal MUI.

Namun sebaliknya justru mayoritas RPH swasta telah memiliki sertifikasi halal MUI. Padahal merekalah yang selama ini menyediakan daging potong pada pasar-pasar tradisionil yang dikonsumsi mayoritas umat Islam Indonesia. Sehingga daging yang dijual di pasaran tidak ada registrasinya dan pengawasannya, bahkan ada juga daging oplosan. Sebab pemerintah menganggap telah halal dan aman, jadi tidak perlu lagi sertifikasi halal dari MUI.

Padahal yang bisa menilai halal haram adalah ulama, bukan RPH yang berada dibawah Departemen Pertanian. Sedangkan kehalalan tidak hanya dagingnya saja tetapi juga proses pemotongannya dan pengolahan dagingnya.

Bahkan daging halal dapat menjadi haram apabila hewan disembelih dengan cara haram separti sembelihan non muslim, tanpa membaca basmalah, hewan dibuat pingsan terlebih dahulu seperti di New Zeeland, hewan diberi minum sebanyak-banyaknya (glongongan) agar badannya menjadi berat, ayam dipotong belum mati langsung dimasukkan air panas dan sebagainya.

Perlu “Privatisasi” Depag ?

Jika pada akhir September nanti RUU JPH disahkan menjadi UU oleh DPR, selain LPPOM MUI akan diintegrasi ke dalam sistem yang ada, juga Depag akan resmi mengambil alih peran lembaga sertifikasi halal MUI. Nantinya Komisi Fatwa MUI hanya bertugas sebagai pemberi fatwa alias tukang stempel yang harus menuruti kemauan Menteri Agama sebagai pemegang otoritas tertinggi halal haram di Indonesia.

Jadi halal haramnya suatu produk akan tergantung dari policy Menag, bukan hukum Syari’ah. Sebagaimana pada pasal 3 RUU JPH disebutkan pemerintah bertugas memberikan jaminan produk halal yang dilaksanakan Menag. Kalau sudah demikian, Menag sekarang sudah tidak ada bedanya dengan mantan Menag Munawir Sadzali yang ingin menghapus hukum faraidh (hukum waris Islam) karena tidak lagi sesuai dengan keinginan hawa nafsunya.

Dengan demikian, dalih dengan disahkannya UU JPH untuk menjadi payung hukum bagi melindungi konsumen muslim dari produk haram, adalah alasan yang dibuat-buat. Sebab selama ini keberadaan UU Perlindungan Konsumen dan UU Pangan ternyata tidak efektif melindungi konsumen mayoritas umat Islam Indoneisia dari berbagai produk haram yang beredar di masyarakat.

Namun yang lebih menghawatirkan lagi adalah, disamping dapat menimbulkan konflik kepentingan, Depag sejak era Orbe Baru dikenal sebagai sarang para koruptor. Dengan demikian, jika nanti Depag juga menguasai hak sertifikasi halal, maka dikhawatirkan para penguasaha besar yang selama ini suka bermain mata dengan para birokrat akan menghalalkan dengan segala cara agar produk makanan olahan, obat-obatan dan kosmetik haram yang dihasilkannya dapat mendapatkan sertifikasi halal dari Menag.

Kalau selama ini hal itu sulit dilakukannya karena Komisi Fatwa MUI terkenal dengan kinerjanya yang professional, bersih dan ikhlas lillahi ta’ala, maka itu nantinya mustahil akan terjadi pada para birokrat Depag menginggat track recordnya selama ini.

Kalau sampai hal itu terjadi, maka umat Islam Indonesia akan menjadi korbannya karena mengkonsumsi produk-produk haram. Padahal kalau tubuh manusia dipenuhi barang haram sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW, maka doanya tidak akan diterima Allah SWT. Dengan demikian, kalau Depag tetap ngotot ingin mengambilalih peran Komisi Fatwa dan LPPOM MUI dalam sertifikasi halal, apa sebaiknya Depag “diprivatisasi” saja sebagaimana Depsos pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Jadi privatisasi yang akan dilakukan Presiden SBY demi policy ekonomi neoliberal tidak hanya pada BUMN, tetapi Departemen juga terkena badai diprivatisasi ! (Lim)

0 komentar:

Posting Komentar