Teman saya itu lalu mengutip cerita Gus Solah, adik kandung Gus Dur. Menurut Gus Solah, dari sekian saudara itu biasanya ada tiga orang yang selalu terlibat debat keras dalam rapat keluarga. Mereka adalah Gus Dur, Gus Solah dan Nyai Liliek Wahid.
Tiga bersaudara ini saling mempertahankan pendapat dan pendiriannya masing. Tak jarang Gus Dur walk out alias meninggalkan rapat keluarga dengan nada marah-marah. Tapi besoknya Gus Dur malah mengirim dr Umar Wahid – adik Gus Dur yang lain – untuk menyampaikan permintaan maaf kepada saudara-saudaranya yang lain. Intinya, Gus Dur dan saudara-saudaranya sudah terbiasa konflik, tapi setelah itu sama-sama saling memaafkan.
”Karena itu saya curiga, Cak. Jangan-jangan Gus Dur dan Cak Imin hanya konflik di permukaan, tapi dalam acara keluarga malah tertawa-tawa. Kan Cak Imin keponakan Gus Dur,” kata teman itu lagi kepada saya.
Saya kira konflik ini memang harus dipahami dalam dua perspektif. Pertama, perspektif negatif (syuudzan). Dalam perspektif negatif konflik Gus Dur-Cak Imin adalah konflik faktual. Artinya, konflik itu adalah fakta politik yang bersifat hitam-putih.
Kedua, perspektif positif (husnudzan) yang memahami peristiwa ini sebagai pseudo-konflik. Dalam perspektif ini konflik Gus Dur-Cak Imin adalah bagian dari ”sandiwara politik”. Nah, dalam kontek ini kita bisa menemukan penjelasan dalam teori Erving Goffman. Dalam perspektif Goffman, konflik Gus Dur-Cak Imin adalah bagian dari dramaturgi politik. Goffman melukiskan kehidupan sosial dengan metafora teater yang terdiri dari front stage (panggung depan) dan back stage (panggung belakang).
Inti proposisi Goffman, apa yang tampak di panggung depan (publik) bukanlah cermin atau realitas sebenarnya dari panggung belakang. Jadi, meski di ruang publik Gus Dur-Cak Imin seolah terlibat konflik sengit, tapi sejatinya mereka akur-akur saja ketika bertemu dalam acara keluarga. Karena itu mudah dipahami jika dalam kasus konflik Gus Dur-Cak Imin muncul spekulasi politik, jangan-jangan konflik terbuka itu sengaja dicipta untuk kepentingan publikasi. Sementara di balik panggung publik paman-keponakan itu justeru ha ha-he he.
Beberapa kiai bahkan punya asumsi bahwa Gus Dur sejatinya kini sedang melakukan proses penempaan karakter kepemimpinan ala pesantren salaf. Dalam sejarah tradisional pesantren, kiai-kiai mukasyafah (weruh sa’durungi winarah atau tahu sebelum peristiwa itu terjadi) sering membentuk karakter dan mendidik mental kepemimpinan santrinya dengan metode efek biliar.
Syaikhona Kholil Abdul Latif Bangkalan, misalnya, pernah memerintahkan santrinya agar menyiapkan senjata dan pentungan karena akan ada macan masuk pesantren yang dipimpinannya. Para santri sigap. Ada yang mengambil batu, pentungan dan sebagainya. Namun setelah ditunggu, ternyata yang muncul justeru anak muda bertubuh kecil kurus. Para santri bingung dan bertanya, mana macannya, kiai?
Syaikhona memberi isyarat bahwa pemuda kecil itulah macannya. Serentak para santri mengejar dan melempari batu santri baru itu. Peristiwa dramatis ini kemudian dipahami sebagai isyarat bahwa pemuda itu kelak akan jadi ”macan” atau tokoh besar Indonesia yang tahan banting. Siapa dia? Sebagian menyebut pemuda itu adalah KH A Wahab Hasbullah, namun sebagian lagi menyatakan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Mana yang benar? Wallahua’lam. Yang pasti, proses penggodogan calon pemimpin dengan cara ”menyakiti” seperti ini lumrah terjadi dalam kultur pesantren yang dipimpin kiai mukasyafah.
Tampaknya tradisi ini mengalir dari sejarah Nabi Khidir ketika ”menguji” Nabi Musa dalam ”kelana spiritual”, disamping para sufi yang sulit dinalar. Bertolak dari paradigma ini, maka konflik yang mendera PKB bisa jadi bagian dari kawah candradimuka yang secara natural untuk mematangkan jiwa kepemimpinan anak-anak muda NU dalam panggung politik yang secara sadar atau tak sadar dicipta oleh Gus Dur.
Faktanya, konflik ini justeru menjadi momentum kelahiran para pemimpin baru sekaligus keterlepasan dari kepompong figur kharismatik Gus Dur. Jadi, sejatinya peristiwa ini adalah awal era baru dalam kultur kepemimpinan politik NU.
Memang, belum bisa diketahui secara pasti, bagaimana tren kultural kepemimpinan politik NU ke depan. Tapi tampaknya faktor paternalistik yang selama ini menjadi kekuatan hegemonik akan mulai berkurang dalam politik NU. Ini berarti, faktor achievement oriented (berorientasi prestasi) akan mendapat tempat terhormat dalam politik NU ke depan. Selain itu tentu kekuatan karakter dan penguasaan terhadap kultur NU akan tetap dominan.
Jadi, yang potensial memegang mandat kepemimpinan politik NU ke depan adalah mereka yang memiliki kekuatan karakter dan moralitas ke-NU-an, disamping profesionalisme. Moralitas ke-NU-an ini penting karena diantaranya adalah bisa menghormati kiai. Sulit dibayangkan, misalnya, seorang politisi NU tapi tak memiliki tradisi menghormati kiai.
Sebab dalam tradisi NU dan pesantren ucapan Sayidina Ali, “ana ‘abdu man ‘allamani harfan, in sya`a ba’a, wa in sya`a a’taqa wa in sya’a istaqarra” (Saya adalah hamba orang yang pernah mengajarkan satu huruf kepada saya, apabila ia mau boleh menjualku, memerdekakanku, atau tetap memperbudakku) sangat populer. Karena itu perhormatan terhadap guru (kiai) mutlak. Sayangnya, banyak politisi kita yang kadang alpa terhadap masalah ini.
Namun terlepas dari dramaturgi politik dan paradigma pesantren, sejatinya ada rasionalitas politik di balik konflik Gus Dur-Cak Imin. Terutama, jika dilihat dari perspektif regenerasi kepemimpinan. Pepatah Arab menyatakan, bahwa setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya. Nah, dalam perspektif ini, konflik Gus Dur-Cak Imin bisa dipahami sebagai sunnatullah, keharusan sejarah.
Buktinya, dengan adanya konflik ini aura dan jati diri kader-kader muda PKB yang selama ini berada di bawah bayang-bayang Gus Dur muncul secara spektakular. Jadi – sekali lagi – tampaknya Gus Dur sengaja ”mempemainkan” kader-kadernya agar segera mandiri, tidak selalu berada di balik bayang-bayang Gus Dur.
Peristiwa ini sekaligus menunjukkan bahwa regenerasi dalam PKB berlangsung secara alamiah dan dahsyat.
Pada sisi lain juga berarti bahwa konflik bukan sesuatu yang harus diratapi, tapi harus kita kelola secara kreatif agar menjadi energi untuk kekuatan ke depan. Apalagi, selain potensial melahirkan pemimpin berjiwa tangguh, konflik juga bisa melahirkan tokoh yang terampil mengelola konflik. Wallahu a’lam bisshawab.
M Mas’ud Adnan,Pemimpin Redaksi HARIAN BANGSA
0 komentar:
Posting Komentar