Today :

Not found what you looking for?:

Diposting oleh PUTRA BETAWI

Published on Senin, 10 Agustus 2009

Piagam Jakarta

Ahmad Sumargono : Ketua Pelaksana Harian KISDI
Tanggal 22 Juni 1945, merupakan saat yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, karena saat itu atau 62 tahun yang lalu telah lahir Piagam Jakarta yang merupakan ruh dalam meletakkan landasan hukum pembangunan bangsa ini. Piagam Jakarta adalah naskah otentik Pembukaan UUD 45. Naskah tersebut disusun oleh Panitia Sembilan bentukan BPUPKI yang terdiri dari Ir Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, Haji Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim, dan Muhammad Yamin. Dalam alinea keempat naskah itu tercatat kalimat: ".... kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja....’’

Pada 9 Juli 1945, Soekarno menyebut Piagam Jakarta sebagai gentlemen’s agreement antara kelompok nasionalis-sekuler dan nasionalis-Muslim. Tapi pada 18 Agustus 1945, tujuh kata vital tadi akhirnya didrop. Alasannya, umat Kristen di Indonesia Timur tidak akan turut serta dalam negara Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan bila tujuh kata itu tetap dicantumkan dalam Pembukaan UUD 45 sebagai Dasar Negara.

Mengomentari ultimatum itu, Dr M Natsir mengatakan, “Menyambut hari Proklamasi 17 Agustus kita bertahmied. Menyambut hari besoknya, 18 Agustus, kita beristighfar. Insya Allah umat Islam tidak akan lupa.” Upaya kekuatan Islam untuk merehabilitasi Piagam Jakarta pada Sidang Majelis Konstituante 1959 disabotase oleh Presiden Soekarno dengan menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Gagal lah usaha tersebut hingga sekarang.

Meskipun demikian, tokoh Masyumi Prof Kasman Singodimedjo dalam biografinya mengingatkan, “Piagam Jakarta sebenarnya merupakan gentlemen’s agreement dari bangsa ini. Sayang, kalau generasi selanjutnya justru mengingkari sejarah.” memasuki era reformasi, UUD 45 memang mengalami amandemen. Hingga ini telah diamandemen sebanyak 4 kali, yakni pada tahun 1999 hingga yang terakhir tahun 2002.

Amandemen itu menimbulkan kontroversi. Ada yang menginginkan kembali ke UUD 45 yang asli (versi Dekrit). Sebagian lagi ingin mempertahankan UUD yang sudah diamandemen yaitu UUD 2002, dan ada yang menginginkan UUD yang sudah diamandemen ini diamandemen kembali untuk kelima kalinya. Untuk yang terakhir ini, sebagian mengusulkan amandemen terbatas, dan sebagian lagi amandemen overwhole atau keseluruhan. Tapi dalam kenyataannya jangankan merehabilitasi Piagam Jakarta, pembahasan amandemen UUD 45 malah sempat menggugat eksistensi Pasal 29 yang menegaskan landasan ketuhanan bangsa.

Makin liar
Amandemen berikutnya cenderung semakin liar. UUD Amandemen 2002 adalah kran awal dari intervensi asing dalam perundang-undangan. Secara umum modus operandi imperialisme lewat jalur UU dapat dikategorikan dalam beberapa cara (Al Wa'ie No70 Tahun VI, 1-30 Juni 2006).

Pertama, intervensi G2G (government to government), yakni pemerintah asing secara langsung menekan pemerintah suatu negara agar memasukkan suatu klausul atau agenda dalam perundangannya dan model G2G seperti ini. Contohnya pernyataan bahwa Indonesia sarang teroris, baik yang dilontarkan AS, Australia, maupun Singapura bertujuan untuk mendesak agar Indonesia menerapkan UU antiteroris yang lebih ketat.

Kedua, intervensi W2G (world to government), yakni lembaga internasional (seperti PBB, WTO, IMF) yang mengambil peran penekan. Contohnya agenda UU yang terkait globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan (UU perbankan, UU migas, UU tenaga listrik, UU sumber daya air).

Ketiga, intervensi B2G (bussines to government). Para pengusaha dan investor menekan pemerintah agar meluluskan berbagai kepentingan mereka dalam undang-undang. Contohnya agenda UU yang terkait dengan investasi, perpajakan, dan perburuhan.

Keempat, intervensi N2G (non government organization to government). Pihak non government organization ini dapat berupa orang asing atau lokal murni tapi disponsori asing. Mereka bisa mendatangi para penyusun UU (teror mental) hingga demo besar-besaran. Contoh pada UU tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga(UU KDART) dan penolakan RUU antipornogarfi dan pornoaksi.

Kelima, intervensi I2G (intellectual to government). Kaum intelektual, para ilmuwan, bahkan tokoh agama dapat dipakai untuk menekan pemerintah agar meloloskan suatu agenda dalam perundangannya. Jenis ini merupakan intervensi paling rapi dan paling sulit dideteksi. Contohnya terlihat pada agenda penyusunan UU Otonomi Daerah

LSM asing yang terlibat aktif dalam penyusunan UU adalah National Democration Institute (NDI) yang dalam operasionalnya didukung CETRO. Mereka mempunyai program constitutional reform. Ditengarai ada dana 4,4 miliar dolar AS dari Amerika Serikat (AS) untuk membiayai proyek tersebut. Bahkan NDI dan CETRO mendapat fasilitas di Badan Pekerja (BP) MPR hingga dengan mudah mengikuti rapat-rapat di MPR.

Sebagai konsekuensinya, undang-undang yang berada di bawah UUD 45 Amandemen itu pun bersifat liberal. Hasilnya, lahirlah UU Migas, UU Listrik (meski kemudian dibatalkan oleh MK), UU Sumber Daya Air (SDA), dan UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga(UU KDRT).

Pakar minyak, Qurtubi dalam diskusi bertema 'UUD 1945 vs UUD 2002' di kantor Institute for Policy Studies Jakarta membenarkan masuknya paham liberalisme dalam UU Migas dan UU Sumber Daya Air. Belakangan juga disahkan UU Penanaman Modal yang memberikan karpet merah bagi kekuatan asing untuk menguasai 100 persen kekayaan Indonesia untuk kemudian melakukan repatriasi.

Dampaknya mulai terasa
Dampak nyata dari UU tersebut sudah terasa. Melalui UU Migas, Pertamina, yang notabene perusahaan milik rakyat, saat ini bukan lagi pemain tunggal. Pertamina harus bersaing dengan perusahaan minyak asing seperti Shell, Exxon Mobil, Mobil Oil, dan sebagainya. Dalam kasus pengelolaan ladang minyak Blok Cepu Jateng, Pertamina harus kalah melawan Exxon Mobil.

Semua ini adalah merupakan musibah nasional, karena elite politik dan para pemimpin bangsa ini telah kehilangan rasa kebangsaan dan religiusitas. Mereka terlalu mudah menggadaikan kepentingan bangsa untuk kepentingan kelompok dan golongan melalui pendekatan pragmatis. Rasa idealisme dan keagamaan telah tenggelam disapu oleh badai liberealisme, kapitalisme, dan hindonisme yang materialistis, sehingga tidak ada satu kekuatan pun di negeri ini yang akan mampu membendung gelombang korupsi dan manipulasi.

Piagam Jakarta seperti yang termaktub dalam Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 , dengan keputusan Presiden No150 tahun 1959, sebagaimana ditempatkan dalam Lembaran Negara No75/1959 mengakui hak tersebut. Keputusan Presiden ini sah berlaku, dan tak dapat dibatalkan melainkan harus bertanya dahulu kepada rakyat lewat referendum (Ridwan Saidi, Piagam Jakarta ,Tinjauan Hukum dan Sejarah, 2007/RioL).


Piagam Jakarta Hak Umat Islam

Syariat Islam kedudukannya sudah sah secara hukum.
JAKARTA -- Piagam Jakarta yang terhapus dari Pembukaan UUD 1945 merupakan hak umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Bila umat Islam mengabaikan Piagam Jakarta sebagai suatu kenyataan sejarah, sama saja dengan mengabaikan haknya.

Hal itu disampaikan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Malam Sabat Kaban, dalam diskusi peluncuran buku Piagam Jakarta menurut Tinjauan Hukum dan Sejarah, karya budayawan Ridwan Saidi, di Hotel Sahid, Jakarta, Kamis (21/6). Kaban pun mengingatkan, Dekrit Presiden Soekarno, 5 Juli tahun 1959, juga memuat kata-kata ''kembali ke UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta''.

''Ini bukan ingin membuka luka lama, tapi menyangkut hak umat Islam,'' kata Kaban. Dia pun menegaskan, pendapat yang menyatakan arti tujuh kata 'dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya' sebagai aturan yang hanya mengatur kewajiban individu, adalah keliru. ''Piagam Jakarta bukan hak individu, tapi ini peran pemerintah yang mengatur salah satunya ajaran Islam ditegakkan. Kewajiban ini dibebankan pada negara yang bertanggung jawab dalam penegakan hukum Islam tanpa mengorbankan non-Muslim,'' kata Menteri Kehutanan itu.

Kaban mengingatkan, Piagam Jakarta berbeda dengan Piagam Madinah. Piagam Madinah adalah kekuatan operasional di Madinah oleh Nabi Muhammad SAW sehingga non-Muslim terjamin hak-haknya. Sementara Piagam Jakarta adalah hukum yang mengatur supaya umat Islam mempunyai hak-hak untuk melaksanakan syariat. ''Tak perlu takut, malu, atau minder perjuangkan syariat Islam karena peluangnya terbuka,'' kata Kaban.

Produk hukum
Ridwan Saidi mengatakan, tujuh kata Piagam Jakarta sudah tercantum dalam Keppres Nomor 150/1959 dan Lembaran Negara Nomor 75/1959 sebagai konsideran pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Karena itu, dia menganggap Piagam Jakarta sudah menjadi produk hukum.

''Piagam Jakarta adalah produk hukum, bukan produk sejarah saja. Ini masih berlaku sampai sekarang. Artinya syariat Islam kedudukannya sudah sah secara hukum,'' kata Ridwan. Konsekuensinya, segala produk hukum seharusnya mengacu pada Piagam Jakarta.

Ketika Soekarno mendekritkan berlakunya UUD 1959 dengan merehabilitasi kedudukan Piagam Jakarta dalam sistem hukum nasional, menurut Ridwan, itu adalah pengakuan Presiden Pertama RI itu bahwa telah terjadi kesalahan dasar UUD karena terjadi pencoretan tujuh kata tersebut. Dia pun mengeritik Pancasila yang menurutnya tak pernah tercantum secara verbal dalam konstitusi.

Pancasila, lanjut Ridwan, adalah opini orang saja yang dikaitkan dengan pembukaan UUD 1945. ''UUD tak pernah menyebut kata Pancasila,'' tegasnya.

Praktisi hukum, Mahendradatta, menambahkan, Pancasila hanyalah produk penafsiran yang muncul dalam bentuk Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P-4). Padahal sebenarnya aplikasi konstitusi nasional adalah Piagam Jakarta, bukan Pancasila.

''Piagam Jakarta itu konstitusi kita, kita tak pernah punya konstitusi bernama Pancasila. Karena salah kaprah ini kita punya konstitusi banci,'' kata Mahendradatta.

Munarman, mantan ketua Yayasan Lembaga bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menyatakan, saat ini yang harus dilakukan adalah mengaplikasikan Piagam Jakarta dalam produk hukum, tata pemerintahan, dan tata ekonomi. Sementara Wakil Ketua MPR, AM Fatwa, menyarankan perjuangan menegakkan syariat Islam sebaiknya ditempuh melalui jalan politik. ''Kita perkuat lembaga politik untuk masuk parlemen. Sehingga kita akan lebih mudah mentransformasikan syariat Islam dalam hukum positif,'' kata Fatwa.

Dukungan non-Muslim
Ketua Majelis Ulama Indonesia, KH Kholil Ridwan, mengungkapkan, betapa banyak usaha berbagai pihak yang ingin menghadang laju penerapan syariat Islam di Indonesia. Namun ternyata syariat Islam terus berkembang setahap demi setahap. Hingga akhirnya di Aceh dapat diterapkan syariat Islam menyusul beberapa daerah dengan perda-perda antimaksiatnya.

Syariat Islam pun ternyata didukung warga non-Muslim. Kholil bercerita bahwa Amir Majelis Mujahidin Indonesia, Ustadz Abu Bakar Ba'asyir, sewaktu dipenjara di LP Cipinang, pernah didatangi sekelompok Bhikku dari Kelantan, Malaysia. ''Mereka meminta Ba'asyir terus berjuang menegakkan syariat Islam karena penerapan syariat Islam di Kelantan berhasil menekan tingkat kejahatan,'' kata Kholil.

Di Aceh, sambung Kholil, para perempuan Tiong Hoa di depan MUI menyatakan rasa syukur. Sebab, penerapan syariat Islam membuat suami mereka tak lagi pulang malam dalam kondisi mabuk dan kehabisan uang karena kalah judi.

Kholil juga bercerita bahwa Amir Majelis Mujahidin Indonesia, Ustadz Abu Bakar Ba'asyir sewaktu di penjara di LP Cipinang, pernah didatangi sekelompok biksu dari Kelantan, Malaysia. " Mereka meminta Ba'asyir terus berjuang menegakkan syariat Islam karena di Kelantan berhasil menekan tingkat kejahatan (rto/RioL)


Menjaga Spirit Piagam Jakarta

M Fuad Nasar Anggota Badan Amil Zakat Nasional
Tanggal 22 Juni mempunyai arti istimewa bagi seluruh bangsa Indonesia. Pada tanggal itu dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tercapai sebuah konsensus nasional dan gentlemen agreement tentang dasar negara Republik Indonesia. Konsensus nasional yang mendasari dan menjiwai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu dituangkan dalam suatu naskah yang oleh Mr Muhammad Yamin disebut Piagam Jakarta.

Titik kompromi dimaksud terutama tercermin dalam kalimat, 'negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya'. Kalimat ini merupakan rumusan pertama lima prinsip falsafah negara yang oleh Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 dinamakan Pancasila.

Dokumen politik tanggal 22 Juni 1945 itu disusun dan ditandatangani oleh panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI. Anggotanya adalah Ir Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moezakir, HA Salim, Mr Achmad Soebardjo, Wachid Hasjim, dan Mr Mohammad Yamin. Waktu itu, Ir Soekarno selaku pimpinan rapat dengan segenap kegigihannya mempertahankan Piagam Jakarta sebagaimana dapat dibaca dalam risalah sidang BPUPKI.

Prawoto Mangkusasmito dalam bukunya Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi (1970), menulis, "Timbul sekarang satu historische vraag, satu pertanyaan sejarah, apa sebab rumus Piagam Jakarta yang diperdapat dengan susah payah, dengan memeras otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka dari bangsa kita, kemudian di dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 18 Agustus 1945 di dalam beberapa menit saja dapat diubah."

Dalam buku Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 (diterbitkan 1969), Bung Hatta menceritakan apa yang dialaminya pada sore hari 17 Agustus 1945 sebagai berikut. “Pada sore harinya saya menerima telepon dari tuan Nisyijima, pembantu Admiral Mayeda menanyakan, dapatkah saya menerima seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut), karena ia mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nisyijima sendiri akan menjadi juru bahasanya. Saya persilakan mereka datang. Opsir itu yang saya lupa namanya datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan dengan sungguh-sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya'. Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap golongan minoritas. Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.

Bung Hatta yang menerima kabar penting itu, masih punya waktu semalam untuk berpikir. “Karena opsir Angkatan Laut Jepang itu sungguh-sungguh menyukai Indonesia Merdeka yang bersatu sambil mengingatkan pula semboyan yang selama ini didengung-dengungkan 'bersatu kita teguh dan berpecah kita jatuh', perkataannya itu berpengaruh juga atas pandangan saya. Tergambar di muka saya perjuangan saya yang lebih dari 25 tahun lamanya, dengan melalui bui dan pembuangan, untuk mencapai Indonesia Merdeka bersatu dan tidak terbagi-bagi. Karena begitu serius rupanya, esok paginya tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang panitia Persiapan bermula, saya ajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasjim, Mr Kasman Singodimedjo, dan Mr Teuku Hasan dari Sumatera mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.” ungkap Hatta.

Tetap hidup
Perjanjian luhur pun disepakati antara golongan Islam dan golongan kebangsaan serta golongan lainnya yang telah dicapai melalui Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Pada 18 Agustus 1945 para pemimpin Islam bersedia mencoret kata-kata, 'dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya', setelah kata 'ke-Tuhanan'. Ini merupakan cermin sikap kenegarawanan dan komitmen pada persatuan bangsa yang tiada bandingnya sepanjang sejarah Republik Indonesia.

Dalam perkembangan di kemudian hari, sehubungan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945, dalam konsiderans dekrit, Presiden Soekarno atas nama rakyat Indonesia menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juli 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar. Pertanyaan yang mendasar diajukan oleh dua orang anggota DPR yaitu Anwar Harjono (Masyumi) dan HA Sjaichu (NU) kepada pemerintah yang diwakili Perdana Menteri Juanda menyangkut rencana kembali ke UUD 1945 serta maksud dari pengakuan Piagam Jakarta dan pengaruhnya dalam UUD 1945. Jawaban resmi pemerintah yang disampaikan oleh Perdana Menteri Juanda adalah bahwa pengaruh Piagam Jakarta tersebut tidak mengenai Pembukaan UUD 1945 saja, tetapi juga mengenai Pasal 29 UUD 1945. Dengan demikian perkataan 'Ketuhanan' dalam Pembukaan UUD 1945 dapat diberikan arti 'Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syari’atnya sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan bagi para pemeluk agama Islam, yang dapat disesuaikan dengan syari’at Islam'.

Tidak dapat dipungkiri bahwa spirit Piagam Jakarta sebagai dokumen ideologis dan historis tetap terpatri dalam konstitusi negara kita. Meski telah 4 kali diamandemen UUD 1945 di masa reformasi dan saat ini kembali bergulir usulan amandemen kelima, diharapkan spirit Piagam Jakarta tetap hidup dalam hati sanubari para pemimpin dan segenap warga bangsa yang majemuk ini. (RioL)


Piagam Jakarta
Piagam Jakarta adalah hasil kompromi tentang dasar negara Indonesia yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan dan disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 antara pihak Islam dan kaum kebangsaan (nasionalis). Panitia Sembilan merupakan panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI.

Di dalam Piagam Jakarta terdapat lima butir yang kelak menjadi Pancasila dari lima butir, sebagai berikut:
  1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya

  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

  3. Persatuan Indonesia

  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan

  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Pada saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preamble). Selanjutnya pada pengesahan UUD 45 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD setelah butir pertama diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Perubahan butir pertama dilakukan oleh Drs. M. Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo.


Naskah Piagam Jakarta Bahwa sesungguhnja kemerdekaan itu jalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka pendjadjahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Dan perdjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai (lah) kepada saat jang berbahagia dengan selamat-sentausa mengantarkan rakjat Indonesia kedepan pintu gerbang Negara Indonesia jang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat Rahmat Allah Jang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaja berkehidupan kebangsaan jang bebas, maka rakjat Indonesia menjatakan dengan ini kemerdekaannja.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka jang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk memadjukan kesedjahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, jang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indnesia, jang berkedaulatan rakjat, dengan berdasar kepada: keTuhanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja, menurut dasar kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permusjawaratan perwakilan, serta dengan mewudjudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia.

Djakarta, 22 Juni 1945

Ir. Soekarno
Mohammad Hatta
A.A. Maramis
Abikusno Tjokrosujoso
Abdulkahar Muzakir
H.A. Salim
Achmad Subardjo
Wachid Hasjim
Muhammad Yamin

0 komentar:

Posting Komentar