Pemerintah Belanda harus menyempitkan ruang gerak dan pengaruh Islam. Hal ini dapat dicapai melalui kerjasama kebudayaan Indonesia Belanda. Ini dapat dimulai dengan memperalat golongan priyayi yang selalu berdekatan dengan pemerintah, karena kebanyakan menjabat sebagai PAMONG PRAIA. Untuk memperlancar usaha tersebut dengan mendidik golongan priyayi dengan pendidikan barat (lihat. J. Benda: The Crescent and the Rising Sun).
Pemerintah harus membantu menghidupkan golongan pemangku adat. Karena mereka ini akan menentang Islam. Pertentangan ini disebabkan lembaga adat dibentuk oleh tradisi lokal, sedangkan Islam bersifat universal. Kondisi ini memudahkan pemerintah kerjasama dengan Golongan Pemangku Adat.
Dalam menghadapi Perang Aceh, Snouck menasihatkan supaya dijalankan Operasi Militer ke daerah pedalaman dan “menindak secara keras para ulama-ulama yang berada di kampung-kampung serta jangan diberi kesempatan para ulama menyusun kekuatannya dengan membentuk santrinya sebagai pasukan sukarela”. Terhadap “orang Islam yang awam” pemerintah harus meyakinkan bahwa “pemerintah melindungi agama Islam”. Usaha ini harus dijalankan dengan bantuan dari kepala-kepala adat.
Pemerintah harus selalu memisahkan antara Islam sebagai agama dan Islam sebagai doktrin politik. Makin jauh jarak kedua hal tersebut akan mempercepat proses kehancuran Islam.” Alam pikiran Snouck Hurgronje ini menghunjam dalam menjadi dasar bagi strategi melumpuhkan dan memarginalkan kekuatan Islam yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik anti Islam. Sikap ini terus menerus mereka lakukan sejak awal kemerdekaan (18 Agustus 1945) yakni dicoretnya 7 kata (syariat Islam dari UUD ’45) hingga reaksi keras mereka menolak RUU Sisdiknas (2003) dengan tujuan menggusur pendidikan agama dari sistem pendidikan nasional. Konsistensi sikap mereka ini mengalir sepanjang sejarah dengan satu tujuan, menjegal aspirasi ummat Islam. Tulisan ini berusaha menelusuri kembali sebagian dari hal tersebut.
Ketika para pendiri Republik ini berhasil merumuskan satu gentlement agreement yang sangat luhur dan disepakati pada tanggal 22 Juni 1945 kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Sesungguhnya Piagam Jakarta inilah mukaddimah UUD ’45 yang pertama.
Selanjutnya tanggal 17 Agustus 1945 pada hari Jum’at dan bulan Ramadhan, Indonesia lahir sebagai negara dan bangsa yang merdeka. Hendaknya disadari oleh setiap muslim bahwa Republik yang lahir itu adalah sebuah negara yang “berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari ‘at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Subhanallah, Allahu Akbar!
Namun keesokan harinya tanggal 18 Agustus rangkaian kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, itu dihapus, diganti dengan kalimat: yang maha esa. Inilah awal malapetaka. Inilah awal pengkhianatan terhadap Islam dan ummat Islam. Tentang hal ini berbagai peristiwa dan wacana terjadi mendahului sebelum apa yang kemudian dikenal dengan “tujuh kata” itu dihapus. Terkait di dalamnya antara lain tokoh-tokoh seperti Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Qahhar Muzakkir, Kasman Singodimejo, Teuku Moh. Hasan, Soekarno. Meskipun usianya hanya sehari, republik yang lahir pada tanggal 17 Agustus 1945 itu adalah Republik yang berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Syariat Islam melekat dalam konstitusinya walaupun hanya sehari! Hal ini tertanam di lubuk hati yang paling dalam bagi setiap aktivis dakwah. Masih terngiang ucapan Kasman Singodimejo dalam sebuah perbincangan bahwa beliau merasa turut bersalah karena dengan bahasa Jawa yang halus Beliau menyampaikan kepada Ki Bagus Hadikusumo tokoh Muhammadiyah yang teguh pendiriannya itu untuk sementara menerima usulan dihapusnya 7 kata itu. Kasman terpengaruh oleh janji Soekarno dalam ucapannya, “Bahwa ini adalah UUD sementara, UUD darurat, Undang-undang Kilat. Nanti 6 bulan lagi MPR terbentuk. Apa yang tuan-tuan dari golongan Islam inginkan silahkan perjuangkan disitu.”
Kasman berpikir, yang penting merdeka dulu. Lalu meminta Ki Bagus Hadikusumo bersabar menanti enam bulan lagi. Hatta juga menjelaskan bahwa Yang Maha Esa itu adalah tauhid. Maka tentramlah hati Ki Bagus. Dalam pandangan Ki Bagus hanya Islam-lah agama tauhid. Dalam biografinya Teuku Moh. Hasan pun menulis tentang makna Yang Maha Esa ini sebagai Tauhid.
Namun enam bulan kemudian Soekarno tidak menepati janji. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak pernah terbentuk. Pemilu yang pertama baru dilaksanakan 10 tahun sesudah proklamasi (1955). Konstituante sebagai lembaga konstitusi baru bekerja pada 1957-1959 (hingga Dekrit 5 Juli 1959). Sementara Ki Bagus Hadikusumo yang diminta oleh Kasman Singodimejo meninggal dalam penantian.
Tentang hilangnya tujuh kata ini Mr. Moh Roem mengutip ungkapan dalam bahasa Belanda: Menangisi susu yang sudah tumpah !?
Sedang M. Natsir menulis: Tanggal 17 Agustus 1945 kita mengucapkan hamdalah; alhamdulillah menyambut lahirnya Republik sebagai anugerah Allah! Tanggal 18 Agustus kita istighfar mengucapkan astaghfirullah (mohon ampun kepada Allah) karena hilangnya tujuh kata!”
Sesudah Proklamasi kita memasuki (1945-1950) masa kemerdekaan, pasca revolusi, PDRI, penyerahan kedaulatan selanjutnya terbentuknya NKRI melalui mosi integral Mohd. Natsir pada 1950. Selanjutnya kita menerapkan demokrasi parlementer diselingi Pemilu I pada tahun 1955 di bawah Perdana Menteri Burhanuddin Harahap (Masyumi), pemilu yang dinilai paling bersih dan paling demokratis.
Sementara itu di luar Jawa di Aceh yang dijuluki “daerah modal” merasa tidak memperoleh keadilan. Lebih dari itu merasa dikhianati oleh Bung Karno Presiden Republik Indonesia.
Ketika Bung Karno berkunjung ke Aceh di awal kemerdekaan bertemu dengan Tgk. Mohammad Daud Beureueh. Kepada Abu Beureueh, Soekarno menyatakan komitmennya untuk menegakkan Islam dan memberlakukan syariat Islam. Namun kenyataannya, Bung Karno mengkhianati janjinya. Inilah penyebab utama pemberontakan rakyat Aceh yang dipimpin oleh Tgk. Mohammad Daud Beureueh menelan waktu bertahun-tahun dan menorehkan luka yang dalam di hati rakyat Aceh.
Dalam sidang Konstituante (1957-1959). Baik dalam Panitia Persiapan Konstitusi maupun dalam perdebatan tentang Dasar Negara kalangan Kristen dengan gigih menolak Islam dijadikan dasar ideologi negara, didukung oleh kekuatan nasionalis, sekuler, sosialis, Partai Komunis Indonesia dan lain-lain. Indonesia sesungguhnya merupakan ajang pertarungan ideologi.
Dalam Sidang IV MPRS 1966. Golongan Kristen dengan tegas menolak penafsiran Ketetapan No. XX/MPRS/1966 sebagai ketetapan yang menegaskan bahwa Piagam Jakarta yang menjiwai UUD 1945 itu identik dengan Pembukaan, maka merupakan bagian dari UUD dan berkekuatan hukum. Menurut mereka Piagam Jakarta hanya ditempatkan dalam konsiderans Dekrit 5 Juli 1959, bukan dalam diktum atau keputusan Dekrit itu. Jadi (menurut mereka) Piagam Jakarta itu sama sekali tidak berkekuatan hukum.
Dalam Sidang Istimewa MPRS 1967. Sebelum sidang dimulai ke dalam Badan Pekerja MPRS dimasukkan suatu usul tertulis yang antara lain mengajukan agar kewajiban melakukan ibadat diwajibkan bagi setiap pemeluk agama dan agama resmi adalah agama Islam. Presiden dan Wakil Presiden harus beragama Islam. Usul ini dengan gigih ditolak terutama oleh kalangan Kristen (Surat kabar Suluh Marhaen, 3 Maret 1967).
Dalam Sidang V MPRS 1968. Golongan Kristen dibantu oleh golongan nasionalis atau non Muslim lainnya menolak rumusan Pembukaan dari Rancangan GBHN yang berisi: “Isi tujuan kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dituangkan dalam UUD 1945 yang terdiri dari batang tubuh dilandasi oleh Pancasila serta dijiwai oleh Piagam Jakarta.” Mereka menolak rumusan tersebut dengan beralasan bahwa kata “dijiwai” menimbulkan arti seolah-olah Piagam Jakarta adalah jiwa sedangkan UUD 1945 itu tubuhnya. “Secara objektif perkataan ‘menjiwai’ dalam Dekrit itu harus diartikan sebagian besar dari Piagam Jakarta - kecuali tujuh kata - dimasukkan dalam Pembukaan yang diterima pada tanggal 18-8-1945, dan Pembukaan itu adalah jiwa UUD 1945. Tidak ada jiwa yang lain. Kalau dikatakan oleh sementara pihak, bahwa Piagam Jakarta ‘menjiwai’ UUD dan bukan Pembukaan yang menjiwainya, itu dapat menimbulkan arti, bahwa justru tujuh kata yang telah dicoret itulah yang ‘menjiwai’ UUD ’45. Jadi hal itu haras ditolak.” Demikian antara lain alasan-alasan kalangan Kristen/Katolik.
Sesudah kembali ke UUD ’45 melalui Dekrit 5 Juli ’59 Bung Karno menindaklanjuti dengan langkah-langkah politik; Membubarkan Konstituante, membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 dan menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur pembentukan kabinet. Lalu terbentuklah Kabinet Gotong Royong dan melibatkan PKI dalam Kabinet. Kemudian membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) disusul berbagai langkah politik yang repressif. Berakhirlah peran DPR pilihan rakyat (Pemilu 1955) dan berakhir pula demokrasi parlementer. Bung Karno berubah dari seorang demokrat menjadi diktatur. Pancasila diperas menjadi Tri Sila, dari Tri Sila diperas menjadi Eka Sila: Gotong Royong dan Poros Nasakom. Lalu digelorakanlah jargon: Nasakom jiwaku, hancurkan kepala batu!
Terjadilah proses Nasakomisasi di seluruh bidang di bawah Panji-panji Revolusi “yang belum selesai”. PKI mendapatkan ruang bergerak yang sangat terbuka untuk memainkan peran menentukan di panggung politik nasional. Situasi ini baru berakhir dengan terjadinya Peristiwa 30 September 1965 dengan segala akibat-akibatnya.
Jika di masa 1959-1965 Orde Lama Soekarno memaksakan Nasakom, Demokrasi Terpimpin, Paradigma Revolusi, U.U. Subversi, dll, sebaliknya Soeharto meneruskan dengan kemasan baru: Demokrasi Pancasila, P4, Asas Tunggal, PMP, Aliran Kepercayaan, memperkokoh Dwifungsi ABRI (militerisasi di segala bidang kehidupan) plus U.U. Subversi, selama 32 tahun pemerintahannya. Empat pilar Orde Baru : ABRI, Golkar, Birokrasi (Korpri), Konglomerat, menopang pemerintahannya yang repressif. Pemilu yang penuh rekayasa melanggengkan kekuasaannya.
Umat Islam dimarginalkan melalui tahapan: de-ideologisasi (pemaksaan asas tunggal Pancasila); de-politisasi (konsep massa mengambang/floating mass); sekularisasi (antara lain berbagai kebijakan dan konsep RUU yang sangat mengabaikan agama); akhirnya bermuara pada: de-Islamisasi.
Sosok Ali Murtopo, Sudjono Humardani, Bakin pada 1970-an memainkan peran utama di panggung pertarungan politik nasional. Bersaing dengan perwira-perwira tinggi lainnya Ali Murtopo menjadi “bintang” di dukung oleh institusi strategis sebagai think-tank yakni CSIS yang pada masa itu di dominasi oleh intelektual Katolik dari ordo Jesuit yang sangat anti Islam.
Berbagai jebakan sebagai bagian dari skenario (operasi-operasi) intelijen digelar untuk kemudiannya mereka yang dilibatkan dikorbankan. Komando Jihad, Woyla, Cicendo, Lampung, Haur Koneng, Tanjung Priok dan lain-lain tidak terlepas dari rekayasa intelijen. Beberapa tokoh ex D.I. (Darul Islam) Jawa Barat dirangkul dan diberi berbagai fasilitas. Ada yang diberi pom bensin, perkebunan teh, ada yang diangkat sebagai deputi kerohanian Bakin. Namun sesudah itu satu persatu diringkus dijebloskan kedalam penjara dengan berbagai tuduhan. Semua tuduhan itu fitnah. Kalangan intelijen mempunyai permanent issue antara lain: ekstrim kanan. Untuk menunjukkan kebenaran adanya kelompok ekstrim kanan, direkayasa berbagai peristiwa. Padahal semua itu bagaikan “hujan buatan” (rekayasa intelijen).
Di akhir periode pemerintahannya ada indikasi Soeharto ingin memperbaiki hubungan dengan ummat Islam dimulai dari berdirinya ICMI pada 1990, U.U. Peradilan Agama, U.U. Sistem Pendidikan Nasional (1989), Bank Muamalat dan kebijakan politik lainnya.
Namun prahara Krisis moneter menjadi awal malapetaka, berkembang menjadi krisis ekonomi, menyusul krisis politik dan berakhir dengan krisis kepemimpinan nasional. Akhirnya tekanan dahsyat demonstrasi mahasiswa yang menginginkan reformasi menumbangkan pemerintahan Soeharto sebagaimana tumbangnya pemerintahan Soekarno. Selanjutnya berturut-turut tampil Habibie, Gus Dur dan Megawati.
Dari perjalanan panjang bangsa ini mampukah kita mengambil hikmah dari sejarah? Menempatkan Islam dan Ummat Islam dalam posisi yang bermartabat? Ataukah kita akan terperosok di lubang yang sama berkali-kali? Wallahu a’lam.n
ABDUL GAFFAR ISMAIL : Menempuh Jalan Uzlah
Catatan tentang Allahu yarham Abdul Gaffar Ismail ini disalin sepenuhnya, tidak diubah ejaan maupun tulisannya, dari majalah tengah bulanan Daulah Islamyah pada edisi Agustus 1957. Majalah ini dipimpin oleh KH. Isa Anshary, sedangkan tulisan tentang KH. A. Gaffar Ismail ditulis oleh Tamar Djaya, salah seorang karibnya. Redaksi majalah ini terbilang tokoh-tokoh terkemuka Muslim Indonesia. A. Hassan masuk dalam jajaran redaktur, begitu juga nama-nama lain seperti Moenawar Chalil, Rusjad Nurdin, Gaffar Ismail sendiri dan juga Rahmah el Yunusiyah.
KH.ISA ANSHARI : Khutbah Perlawanan Menjelang Ajal
Ia bergelar Singa Podium. Dijuluki demikian karena kefasihan kemampuan berorasi mampu mengobarkan semangat setiap orang yang mendengarnya. Pemuda yang bertubuh pendek, gemuk dengan bahu yang agak bungkuk ini lahir di Maninjau, Sumatera Barat, 1 Juli 1916. Di usianya yang masih remaja, Isa Anshari telah terjun ke dunia politik. Di kota kelahirannya itu ia sudah menjadi kader PSII dan aktif sebagai mubaligh Muhammadiyah. Seperti halnya para pemuda lainnya, Isa Anshari merantau ke pulau Jawa dan menetap di kota Bandung. Di kota Kembang inilah ia bertemu dengan Soekarno.
Selain dikenal sebagai pemuda yang taat beragama, aktivitas politiknya makin menggebu-gebu. Di usianya yang muda, ia telah memimpin beberapa organisasi, yaitu Ketua Persatuan Muslimin Indonesia Bandung, Pemimpin Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia Bandung, Sekretaris Partai Islam Indonesia Bandung serta ikut mendirikan Muhammadiyah cabang Bandung. Dalam pergerakan itu, ia bergabung dengan kelompok pemuda yang disebut-sebut radikal, seperti M. Natsir. Aktivitasnya di Persis yang sempat dipimpinnya beberapa periode seakan-akan semakin tersemai subur. Ia juga menjadi anggota Indonesia Berparlemen, Sekretaris Umum Komite Pembela Islam dan pemimpin redaksi majalah Daulah Islamyah.
Satu hal yang mencolok dari tokoh yang pernah menjadi pembantu tetap Pelita Andalas dan Perbincangan ini adalah sikapnya yang tegas. Ia sering dinilai tidak bersikap kompromistis. Tidak mengherankan kalau Herbert Feith menyebutnya dengan figur politisi fundamentalis yang memiliki keyakinan teguh.
Oleh karena itu, pada zaman Jepang, ia telah mengomandoi gerakan Anti Fasis (Geraf), Biro Penerangan Pusat Tenaga Rakyat (Putera) Priangan, memimpin Angkatan Muda Indonesia dan mengorganisasi Majelis Islam yang membentuk kader-kader Islam.
KH. Isa Anshari adalah salah satu pilar yang membangun Persis. Pada tahun 1935-1960 ia sempat menjadi ketua umumnya. Selama memimpin Persis, perannya sangat menonjol. Ia selalu memberikan arahan dan warna bagi organisasi itu. Pidatonya selalu bergelora membuat pandangan yang mendengarkan selalu tertuju kepadanya. Bukan sekali dua kali ia ditegur oleh aparat keamanan karena “garangnya” pidato yang ia sampaikan.
Dalam hal tulis menulis analisisnya cukup tajam. Di antaranya hasil karyanya adalah Bahaya Merah Indonesia (1956), Barat dan Timur (1948), Islam Menentang Komunisme (1956), Tuntunan Puasa (1940), Umat Islam Menghadapi Pemilihan Umum (1953), dan lain-lain.
Dalam kancah politik, Masyumi menjadi ladangnya. Bagi para ulama kritis , berpolitik merupakan bagian tuntutan agama. Mereka selalu meneriakkan kebenaran walaupun pahit dirasakan. Bagi mereka, berpolitik adalah alat untuk mencapai cita-cita umat Islam. Di bawah bendera Masyumi, ia semakin memperkuat posisinya sebagai politisi. Tahun 1949, ia memimpin sebuah kongres Gerakan Muslimin Indonesia.
Keterlibatan KH. Isa Anshari dalam pentas politik membuat dia harus menghadapi risiko yang tidak kecil. Ketika terjadi razia terhadap orang-orang yang diisukan ingin membunuh presiden dan wakil presiden pada bulan Agustus 1951 oleh PM Sukiman Wirdjosandjoyo, KH. Isa Anshari ditangkap. Namun beberapa saat kemudian ia dilepaskan dan dinyatakan tidak bersalah.
Sepak terjangnya di bidang politik sempat menyedot perhatian massa. Di mana ia memberikan pidato, pasti dipenuhi massa yang ingin mendengarkan suaranya. Biasanya massa yang hadir bukan hanya partisipan Masyumi, tapi juga masyarakat umum.
Pada masa Soekarno, Masyumi menjadi salah satu lawan politik pemerintah yang terus digencet. Saat tragedi Permesta meledak (1958), banyak tokoh-tokoh yang diciduk. Termasuk KH. Isa Anshariyang saat itu berada di Madiun bersama Prawotomangkusasmito, M. Roem, M. Yunan Nasution dan EZ. Muttaqien serta beberapa tokoh lainnya.
Pada masa demokrasi parlementer, muncul beberapa konflik antar kelompok. Ada yang menginginkan Indonesia berideologi sekuler-nasionalis dengan dasar negara Pancasila. Di sisi lain ada yang menginginkan terbentuknya negara Islam, atau paling tidak negara yang berideologikan hukum-hukum Islam. Di tubuh Masyumi, cita-cita untuk membangun Negara Islam sangat subur. KH. Isa Anshari tetap menjadi juru bicara yang ulet bagi Masyumi. Namun sayang, keinginan mereka untuk mewujudkan Negara Islam gagal. Ketidakberhasilan ini disebabkan beberapa hal, di antaranya munculnya polarisasi mengenai bentuk dan konsep negara Islam itu sendiri.
Ada yang berpendapat bahwa aturan dan ajaran Islam harus terwujud lebih dahulu yang nantinya dengan sendiri akan terbentuk negara Islam. KH. Isa Anshari termasuk dalam kelompok ini. Di sisi lain ada yang berpendapat bahwa negara Islam harus di bentuk dahulu, baru kemudian diberi corak dan warna Islam. Di Luar itu, muncul kelompok yang lebih keras lagi. Maka meledaklah peristiwa DII/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh serta gerakan Ibnu Hajar di Kalimantan. Gerakan-gerakan itu dapat dipadamkan oleh Soekarno.
Pada era berikutnya, KH. Isa Anshari terus berkecimpung dalam membangun umat. Di usianya yang kian lanjut, ia lebih banyak mengkader generasi muda. Ia tidak lagi menjadi pemimpin di organisasi yang membesarkannya, tapi cukup sebagai penasehat. Begitulah contoh seorang pemimpin yang mengetahui keadaannya. Kendati demikian ia tetap saja mendapat halangan. Ia sempat dijebloskan ke dalam penjara oleh Soekarno. Dari balik terali besi ia masih sempat mengirimkan tulisan-tulisan ke para sahabatnya.
KH. Isa Anshari tidak mengenal lelah. Menjelang akhir akhir hayatnya ia tetap bekerja untuk umatnya. Pada 11 Desember 1969 atau sehari setelah Hari Raya Idul Fitri 1369 H ia meninggal dunia, di RS Muhammadiyah Bandung. Sehari sebelumnya ia menyatakan bersedia memberikan khutbah Idul Fitri, namun takdir berkehendak lain. Naskah khutbah itu sempat diketiknya dua halaman, dan tak sempat terbacakan
MOHAMMAD NATSIR : Kiai Perdana Menteri
Negarawan Muslim, ulama intelektual, tokoh pembaruan dan politikus kenamaan, itulah predikat yang bisa disematkan pada tokoh Muslim yang satu ini. Lahir pada 17 Juli 1908, di Alahanpanjang, daerah subur di Sumatera Barat yang kaya dengan aneka pergolakan pemikiran dan gagasan.
Ketika baru berusia 8 tahun, Mohammad Natsir belajar di HIS (Hollandsch Inlandsche School) Adabiyah, Padang dan tinggal bersama makciknya. Kemudian Natsir, dipindahkan o-rang tuanya ke HIS pemerintah di Solok dan tinggal di rumah Haji Musa, seorang saudagar. Di sini ia menerima cukup banyak ilmu. Pada malam hari ia belajar al-Qur’an, sedang paginya belajar di HIS. Tiga tahun kemudian ia dipindahkan ke HIS dan tinggal bersama kakaknya, Rabi’ah.
Pada 1923, ia meneruskan sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs/setingkat SMP sekarang) di Padang. Di situ ia menjadi anggota JIB (Johg Islamieten Bond) Padang dan bersentuhan langsung dengan gerakan perjuangan. Pada 1927, ia melanjutkan ke AMS (Algemene Middelbare School/ setingkat SMA sekarang) di Bandung. Ketika di MULO dan AMS itulah, la mendapat beasiswa dari pemerintah Belanda. Selama di AMS, ia sangat tertarik pada ilmu agama. Waktu luangnya digunakan untuk belajar agama di Persatuan Islam (Persis) dengan bimbingan pendiri dan pemimpinnya, Ustadz A. Hassan. Lulus AMS pada 1930. Prestasi yang diperolehnya memungkinkannya mendapat beasiswa untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.
Sejak di MULO, ia sudah mulai mengenal semangat perjuangan. la masuk menjadi anggota kepanduan JIB. Ia pernah menjabat ketua (1928-1932) di JIB cabang Bandung. Minatnya terhadap politik, perhatiannya atas nasib bangsa dan tekadnya untuk meluruskan kesalah pahaman umat akan ajaran agama, telah melibatkan dirinya dalam bidang politik dan dakwah. Hal itu pula yang membuat Natsir muda menolak setiap tawaran beasiswa dari pemerintah Belanda untuk meneruskan pendidikan Fakultas Hukum Jakarta, Fakultas Ekonomi Rotterdam Belanda atau menjadi pegawai pemerintah. Kegiatan politiknya terus berkembang setelah lebih jauh berkenalan dengan tokoh-tokoh gerakan politik seperti H.Agus Salim dan yang lainnya.
Karena kejujurannya dalam perjuangan, pada masa kemerdekaan ia di percaya menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan Republik Indonesia. Kejujuran itu pula yang mengundang seorang seorang Indonesianis, George Mcturnan Kahin berkomentar untuk Natsir. “Dia (Natsir) tidak bakal berpakaian seperti seorang menteri, namun demikian, dia adalah seorang yang amat cakap dan penuh kejujuran; jadi kalau Anda hendak memahami apa yang sedang terjadi dalam republik, Anda sudah seharusnya berbicara dengannya.”
Ya, Natsir tak pernah berpenampilan seperti seorang menteri dalam pengertian modern. Ia selalu tampil dalam balutan busana sederhana, lengkap dengan peci dan sorban putih yang selalu ia lilitkan di lehernya.
Sejak 1932 sampai 1942, M. Natsir diangkat sabagai direktur Pendidikan Islam di Bandung sebagai Kepala Biro Pendidikan Kotamadya Bandung (Bandung Syiakusyo). Dari 1945 sampai 1946 sebagai anggota badan pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan kemudian menjadi wakil ketua badan ini. Pada 1946 (Kabinet Sjahrir ke-2 dan ke-3) dan 1949 (Kebinet Hatta-1) ia menjadi Menteri Penerangan Rl. Dari 1949 sampai 1958 ia diangkat menjadi ketua umum Masyumi. Dalam Pemilu 1956 ia terpilih menjadi anggota DPR. Dari 1956 hingga 1958 ia menjadi anggota Konstituante Rl.
Pada 1950-1951 tokoh kita ini mendapat amanah menjadi Perdana Menteri. Hubungannya dengan Presiden Soekamo sempat merenggang selama penyelesaian Irian Barat. Puncaknya terjadi tetelah peristiwa Cikini, November 1957. Waktu itu sebuah granat diledakkan untuk membunuh Soekarno, namun tidak berhasil, dan menewaskan anak-anak sekolah, Meski Natsir tidak ada kaitan sama sekali dengan rencana itu, Soekarno menuduhnya berada di belakang aksi tersebut. Dalam situasi negara yang tidak menentu, Ketua Dewan Banteng Achmad Husein mengultimatum pemerintah, Djuanda agar mengundurkan diri. Pemerintah justru memecat Husein, Simbolon,dan beberapa perwira AD lainnya. Tak lama kemudian Kolonel Acmad Husein mengumumkan berdirinya PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), dengan M. Natsir sebagai Perdana Menteri.
Setelah peristiwa Cikini, Natsir memang tidak hanya diisolasi, tapi juga terus diganggu, bersama koleganya yang lain, Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap. Akhirnya mereka hengkang ke Sumatera Barat. Ketika operasi Angkatan Darat terhadap PRRI pada 25 September 1961, Natsir ditangkap dan dipenjara, dengan tuduhan ikut terlibat PRRI. Sejak 1962 sampai 1966 ia ditahan di Rumah Tahanan Miter (RTM) Keagungan Jakarta.
Di awal rezim Orde Baru, Natsir dibebaskan, tapi ia tetap dilarang berpolitik. Walau demikian, aktifitasnya tidak terhenti, Natsir kemudian aktif pada organisasi Islam Internasional. Seperti pada Kongres Muslim Sedunia (World Moslem Congress) pada 1967 yang bermarkas di Karachi, sebagai wakil presiden. Pada 1969 ia menjadi anggota Rabitah af-Alam al-lslami (World Moslem League) di Mekah. Pada 1976 ia masuk anggota Dewan Masjid Sedunia (al-Majlis al-A’la al-’Alami li al-Masajid) yang bermarkas di Mekah. Sedangkan di Indonesia sejak 1967 sampai dengan masa tuanya, ia dipercaya menjadi ketua DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia).
BUYA HAMKA : Menolak Takluk
Nama panjangnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, tapi ia lebih dikenal dengan HAMKA. Seorang ulama yang pernah dilahirkan oleh bangsa Indonesia, yang berpengaruh hingga di kawasan Asia Tenggara. Hamka lahir di Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari 1908, Putra H. Abdul Karim Amrullah. Seorang tokoh pelopor gerakan Islam “Kaum Muda” di daerahnya.
Hamka hanya sempat masuk sekolah desa selama 3 tahun dan sekolah-sekolah agama di Padangpanjang dan Parabek (dekat Bukittinggi) sekitar 3 tahun. Tapi ia berbakat dalam bidang bahasa dan segera menguasai bahasa Arab; yang membuat ia mampu membaca secara luas literatur Arab, termasuk terjemahan dari tulisan-tulisan Barat. Sebagai putra tokoh pergerakan, sejak kecil Hamka menyaksikan dan mendengar langsung pembicaraan tentang pembaruan dan gerakannya melalui ayah dan rekan-rekan ayahnya.
Hamka dikenal sebagai seorang petualang. Ayahnya bahkan menyebutnya “Si Bujang Jauh”. Pada 1924, dalam usia 16 tahun, ia pergi ke Jawa untuk mempelajari seluk-beluk gerakan Islam modern dari H. Oemar Said Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo (ketua Muhammadiyah 1944-1952), RM. Soerjopranoto (1871-1959), dan KH. Fakhfuddin (ayah KH. Abdur Rozzaq Fakhruddin). Kursus-kursus pergerakan itu diadakan di Gedung Abdi Dharmo, Pakualaman, Yogyakarta. Setelah beberapa lama di sana, ia berangkat ke Pekalongan dan menemui kakak ipamya, AR. Sutan Mansur, yang waktu itu menjadi ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Di kota ini ia berkenalan dengan tokoh-tokoh ulama setempat. Pada bulan Juli 1925, ia kembali ke rumah ayahnya di Gatangan, Padangpanjang. Sejak itulah ia mulai berkiprah dalam organisasi Muhammadiyah.
Pada Februari 1927, Hamka berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim lebih kurang 6 bulan. Selama di Makkah, ia bekerja di sebuah percetakan. Pada bulan Juli, Hamka kembali ke tanah air dengan tujuan Medan. Di Medan ia menjadi guru agama pada sebuah perkebunan selama beberapa bulan. Pada akhir 1927, ia kembali ke kampung halamannya.
Pada 1928, Hamka menjadi peserta Muktamar Muhammadiyah di Solo, dan sejak itu hampir tidak pernah absen dalam Muktamar Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Sepulang dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, mulai dari ketua bagian Taman Pustaka, ketua Tabligh, sampai menjadi ketua Muhammadiyah Cabang Padangpanjang. Pada 1930, ia diutus oleh Pengurus Cabang Padangpanjang untuk mendirikan Muhammadiyah di Bengkalis. Pada 1931, ia diutus oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah ke Ujungpandang untuk menjadi mubaligh Muhammadiyah dalam rangka menggerakkan semangat menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 (Mei 1932) di Ujungpandang.
Hamka pindah ke Jakarta pada tahun 1950, dan memulai karirnya sebagai pegawai negeri golongan F di Kementerian Agama yang dipimpin KH. Abdul Wahid Hasyim.
Tahun 1950 itu juga HAMKA mengadakan lawatan ke beberapa negara Arab sesudah menunnaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Sepulang dari lawatan ini ia mengarang apa buku roman, yaitu Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajah. Sebelumnya Hamka menulis Di Bawah Naungan Ka’bah (1938), Tenggelamrrya Kapal van der Wljk (1939), Merantau ke Deli (1940), Di Dalam Lembah Kehidupan (1940), dan biografi orang tuanya berjudul Ayahku (1949).
Ia pernah mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Tentang pengaruhnya, Tun Abdul Razak, Perdana Menteri Malaysia berkata, “ Hamka bukan hanya milik bangsa Indonesia, tapi juga kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara.”
Dalam bidang politik, Hamka menjadi anggota konstituante hasil pemilu pertama 1955. la dicalonkan oleh Muhammadiyah untuk mewakili daerah pemilihan Masyumi di JawaTengah. Muhammadiyah waktu itu adalah anggota istimewa Masyumi. Dalam sidang konstituante di Bandung, ia menyampaikan pidato penolakan gagasan Soekarno untuk menerapkan Demokrasi Terpimpin.
Setelah Konstituante dibubarkan pada bulan Juli 1959 dan Masyumi dibubarkan setahun kemudian. Hamka pun memusatkan kegiatannya dalam dakwah. Sebelum Masyumi di bubarkan, ia mendirikan majalah tengah bulanan bernama Panji Masyarakat yang menitikberatkan soal-soal kebudayaan dan pengetahuan agama Islam. Majalah ini kemudian dibreidel pada 17 Agustus 1960 dengan alasan memuat karangan Dr. Muhammad Hatta berjudul Demokrasi Kita yang mengritik konsepsi Demokrasi Terpimpin. Majalah ini baru terbit kembali setelah Orde Lama tumbang, pada 1967, dan HAMKA menjadi pemlmpin umumnya hingga akhir hayatnya.
Sebelumnya, pada tanggal 27 Januari 1964, ulama dengan jasa yang besar pada negara ini ditangkap negaranya sendiri. Ia dijebloskan ke dalam penjara selama Orde Lama. Dalam tahan ini pula ia melahirkan karyanya yang monumental, yakni tafsir Al Azhar.
Hamka pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1975. Pada masanya pula, MUI pernah mengeluarkan fatwa yang luar biasa, melarang perayaan Natal bersama. MUI didesak untuk mencabut kembali fatwa tersebut, namun Hamka menolakya. Ia lebih memilih mengundurkan diri dari jabatannya ketimbang harus mengorbankan akidah. Allah SWT memanggilnya pada 24 Juli 1981. Ulama pejuang yang istiqomah ini dimakamkan di Tanah Kusir, diiringi doa segenap umat Islam yang mencintainya.
0 komentar:
Posting Komentar