Today :

Not found what you looking for?:

Diposting oleh PUTRA BETAWI

Published on Kamis, 24 Maret 2011

Habib Sholeh: SBY itu Bonekanya Siapa?


BAGAIMANA pendapat kelompok Islam garis keras yang selama ini bergerak secara under grown, seperti Barisan Pemuda Salafunashalihin Ahlussunnah Wal Jama’ah (Barda Salama) pimpinan Habib Soleh bin Muhammad Al Haddar.

Kepada Monitor Indonesia, Habib Sholeh mengungkapkan jika rencana kudeta itu benar, maka hal yang wajar terjadi. Sebab, ketidakpuasan para purnawirawan jenderal itu bersumber dari sikap SBY sendiri yang terlalu lamban, ‘kayak keong’, dalam setiap melahirkan sikap dan kebijakan. “Silahkan Anda perhatikan, mulai dari kebijakan ekonomi, politik, sosial, agama, dan kebijakan politik luar negeri. Semuanya lamban. Ini mencirikan SBY sebagai presiden yang disetir. Dia baru mengeluarkan sikapnya setelah berkonsultasi dengan ‘majikannya’,” ungkap Habib Sholeh, Rabu (23/3/2011).

Ketika ditanya siapa yang dimaksud majikannya SBY itu? Habib Sholeh mengatakan walaupun tanpa menyebutkan secara gamblang, semua publik Indonesia sudah mengetahui. “Semua masyarakat Indonesia, bahkan di planet bumi ini sudah tahu, SBY itu bonekanya siapa?” ujarnya.

Makanya, Habib Sholeh juga menganggap rencana kudeta itu menjadi wajar ketika SBY tidak bisa memberikan rasa puas terhadap warganya. Bahkan, lanjutnya, yang merasa tidak puas dengan pemerintahan SBY-Boediono itu bukan hanya para jenderal purnawirawan, tapi hampir seluruh elemen bangsa ini. Buktinya, kata Habib Sholeh, para tokoh lintas agama sudah menyatakan dengan gamblang bahwa SBY berbohong.

Penilaian para tokoh lintas agama itu sebenarnya merupakan benih dari revolusi yang kini mulai terkuak. Namun, para tokoh lintas agama itu lebih mengedepankan cara yang lebih soft, berbeda dengan elemen bangsa lain yang memilih dengan cara hard.

Lebih lanjut Habib Sholeh mengingatkan yang terpenting sebenarnya bukan pada cara (revolusi), tapi adanya perubahan yang mendasar. “Soal revolusi itu kan salah satu cara melakukan perubahan. Kan banyak cara yang lebih baik dan soft. Namun, jika cara soft itu tidak mempan, maka patut diakui bahwa revolusi menjadi pilihan terakhir. Itu pun harus dilakukan tanpa berdarah-darah. Tidak ada salahnya, kita meniru gerakan Ghandi di India,” ujarnya.

Perubahan itu, lanjut Habib Sholeh, mutlak diperlukan, terutama paska era reformasi yang jelas-jelas gagal alias kebablasan. Seharusnya, reformasi itu menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik dibanding era Orde Baru (era Soeharto). Tapi justru sebaliknya, era reformasi ini justru lebih buruk dari era Orba. “Banyak buktinya, korupsi lebih merajalela, dari tingkat menteri sampai office boy, aparat hukum dari polisi, jaksa, sampai pengacara lebih berani menjual hukum, hakim lebih memihak kepada yang punya uang, dan lain-lain. Ini bukti yang tidak bisa dibantah,” ungkapnya.

Kondisi seperti itu, lanjut Habib Sholeh, memang sengaja diciptakan dalam situasi masa transisi yang terus berlanjut sampai sekarang. “Anda tahu siapa yang menciptakan ini? Ya itu, majikannya SBY. Siapa lagi kalau bukan Amerika dan antek-anteknya?” ujar dia.

Menurut Habib Sholeh, tujuan dari diciptakannya situasi seperti itu adalah untuk melegitimasi tindakan Amerika mengeruk kekayaan Bangsa Indonesia, terutama minyak bumi, gas, dan emas. Terbukti, setelah reformasi berlanjut ke era mapan, beberapa perusahaan Amerika Serikat langsung melakukan kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia, untuk menggali minyak, gas, dan emas. “Lihat kontrak kerja Freeport, malah diperpanjang, padahal sudah didesak oleh masyarakat agar kontrak kerja Freeport ditinjau ulang, karena merugikan negara,” ungkapnya.

Begitu juga dengan dua perusahaan raksasa minyak asal Amerika Serikat, Exxon Mobil dan Conoco yang menggarap minyak mentah di Sulawesi Barat (Sulbar). Satu perusahaan lainnya asal AS, Marato, juga menggarap minyak di Mamuju Utara (Mamut).

Mobil Oil menggarap ladang gas di Arun, sebuah desa kecil di Lhokseumawe, pada 1970. Bisa dikatakan, Aceh merupakan ladang uang bagi perusahaan-perusahaan minyak dan gas dari Amerika Serikat. “Masih banyak lagi ladang minyak dan gas Indonesia yang menjadi sumber kekayaan Amerika Serikat. Inilah sebenarnya yang ingin diamankan oleh Amerika Serikat, sehingga menempatkan SBY sebagai kepala negara di Indonesia,” tandasnya.

Karena itulah, bukan hal yang aneh jika sebagian masyarakat Indonesia yang punya keberanian melakukan revolusi telah merencanakan hal itu. “Tapi, kalau revolusi itu kembali ditunggangi Amerika Serikat, seperti yang terjadi di Libya, sama saja bohong,” katanya mengakhiri pembicaraan. MONITOR INDONESIA

0 komentar:

Posting Komentar