Diposting oleh
PUTRA BETAWI
Published on Selasa, 29 Maret 2011
Informan Bernama Agung Laksono dan T.B. Silalahi
Kedua pejabat Indonesia itu menurut laporan Kedubes Amerika Serikat adalah informannya. Tapi mengapa kasus spionase yang membahayakan keamanan negara ini tak diadili?
Pelan-pelan kegaduhan itu berhenti. Sekarang, tak ada lagi anggota masyarakat yang membicarakan pemberitaan koran Australia, The Age dan Sydney Morning Herald yang menuduh Presiden SBY korupsi dan menyalah-gunakan wewenang, dan Ibu Ani Yudhoyono memanfaatkan kekuasaan suaminya untuk melakukan spekulasi bisnis yang menghasilkan uang. Tak ada lagi pembicaraan di tengah masyakarat yang melibatkan pengusaha besar dari group Arta Graha, Tommy Winata, yang konon memberikan uang kepada Presiden SBY melalui penasehat dan orang dekatnya Mayor Jenderal (Pur) T.B. Silalahi.
Atau tentang Ketua MPR dan tokoh PDIP Taufik Kiemas yang pada 2004 disebutkan diperiksa dan diusut Kejaksaan Agung karena terlibat korupsi sejumlah proyek ketika istrinya, Megawati Soekarno menjadi Presiden. Malah Taufik sudah akan ditangkap pada saat itu. Tapi kemudian Presiden SBY sendiri turun tangan, tulis koran The Age edisi 11 Maret 2011, memerintahkan Hendarman Soepandji, pejabat di Kejaksaan Agung untuk menghentikan pengusutan.
Institusi yang mengurusi pemberantasan korupsi seperti Kejaksaan Agung atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun diam saja. Kedua lembaga itu tak mengusut informasi yang dibongkar The Age dan Sydney Morning Herald. KPK membuat dalih bahwa apa yang ditulis koran tadi belum memadai untuk diusut.
Sikap kooperatif KPK kepada Presiden SBY memang bukan baru. Sejak terjadi kasus Ketua KPK Antasari Azhar, yang tiba-tiba dituduh sebagai pembunuh dan divonis 18 tahun penjara, KPK memang jadi letoi terhadap Presiden SBY. KPK sekarang hanya galak kepada para pensiunan. Dalam kasus korupsi yang datanya bersumber dari laporan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta yang kemudian dibobol situs pembocor Wikileaks, menurut The Age edisi 16 Maret 2011, sikap KPK itu didukung ICW (Indonesian Corruption Watch).
Bagi ICW, seperti diungkapkan salah seorang pengurusnya, Emerson Yuntho, ICW tak akan mengusut kasus itu karena ada kesalahan fakta pada kabel laporan Kedubes Amerika Serikat. Yang dimaksudnya adalah tentang jabatan Hendarman Supandji yang oleh satu satu kabel disebutkan sebagai Asisten Jaksa Agung. Padahal pada 2004 itu, Hendarman belum memegang jabatan itu.
Jadi hanya karena sebuah kabel tak akurat menyebut jabatan Hendarman, maka laporan semua kabel dianggap omong kosong oleh ICW. Luar biasa ICW dalam membela Presiden SBY dan keluarganya.
Untuk diketahui saja, isu korupsi yang dituduhkan koran The Age dan Sydney Morning Herald berasal dari kawat Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta kepada Departemen Luar Negeri di Washington setiap hari dari tahun 2004 sampai 2010. Jadi tuduhan itu bersumber dari bocoran isi banyak sekali kabel/kawat laporan oleh para pejabat Kedutaan Besar Amerika Serikat yang kemudian dibocorkan Wikileaks dan disimpulkan surat kabar The Age dan Sydney Morning Herald.
ICW selama ini suka berkoar-koar sebagai badan independen anti-korupsi. Walau pun sebenarnya sampai sekarang, sebagai gerakan anti-korupsi ICW lebih banyak tampil di koran dan TV. Aksinya yang konkret di tengah masyarakat nyaris tak diketahui.
Presiden SBY sendiri semula amat terpukul oleh berita dua koran Australia itu. Ia sempat mengurung diri di Istana dan tak ikut Shalat Jumat. Istrinya, Nyonya Kristiani Herawati menangis. Tak hanya itu. Menurut The Age 15 Maret 2011, pada hari Jumat itu menurut rencana Presiden Barack Obama akan melakukan pembicaraan telepon dengan Presiden SBY mengenai KTT Asia Timur. Nyatanya pembicaraan itu tak terjadi.
SILALAHI BERHASIL MENYUSUP KE ISTANA
Tapi meski meski pukulan begitu berat, ternyata Presiden SBY dan istrinya cuma membantah berita itu. Keduanya mengaku telah difitnah. Tapi anehnya keduanya tak mau menuntut penghinaan dan fitnah itu melalui jalur hukum di pengadilan. Dengan membawa kasus itu ke pengadilan, sebenarnya akan terbuka secara transparan apakah berita itu benar atau bohong. Kalau memang yakin dirinya benar, sebenarnya sebaiknya klarifikasi Presiden dilakukan lewat pengadilan. Apalagi kedua koran itu mau pun para pejabat Kedubes Amerika Serikat di Jakarta, sama sekali belum pernah membantah substansi berita/kawat itu.
Apalagi dulu Presiden SBY sempat berkoar-koar akan menyelesaikan penghinaan dan fitnah terhadap dirinya melalui proses pengadilan. Oleh karena itulah Presiden SBY dan istrinya datang sendiri ke kantor Polda Metro Jaya pada hari Minggu untuk mengadukan bekas Wakil Ketua DPR Zaenal Maarif. Ketika itu Zaenal menuduh, sebelum menikahi Ibu Ani Yudhoyono, SBY sudah pernah menikah dan memiliki anak.
Dalam kasus kabel Kedubes Amerika Serikat ini sebenarnya yang harus diklarifikasi bukan hanya kasus korupsi dan penyalanggunaan wewenang Presiden SBY dan Nyonya Ani Yudhoyono. Tapi juga menyangkut kasus spionase yang melibatkan dua orang dekat SBY yaitu T.B. Silalahi dan Agung Laksono. T.B. Silalahi diketahui sebagai penasehat SBY, sedang Agung Laksono, tokoh Golkar yang dikenal paling dekat dengan SBY, dan kini menjabat Menko Kesra.
Dari laporan kawat itu diketahui bahwa T.B.Silalahi adalah seorang informan politik Kedubes Amerika Serikat yang paling berharga. Adalah Silalahi yang melapor ke Kedubes tentang kasus penghentian perkara Taufik Kiemas pada tahun 2004 oleh campur-tangan Presiden SBY. Silalahi juga yang melaporkan peran Nyonya Ani Yudhoyono yang begitu besar, termasuk dalam menggunakan kekuasaan suaminya untuk mencari keuntungan bisnis.
Kalau semua ini benar berarti Silalahi berhasil menyelusup ke Istana sebagai orang dekat Presiden, padahal sebenarnya dia adalah imforman Kedutaan Besar Amerika Serikat yang amat dipercaya. Hal yang sama terjadi pada Agung Laksono. Sebagai orang dekat SBY, dialah yang melaporkan ke Kedubes bahwa T.B.Silalahi adalah penghubung antara Presiden SBY dengan pengusaha Tomy Winata dalam urusan pemberian dana. Penghubung SBY yang lain disebut Muhamad Lufti, bekas Kepala BKPM yang kini menjadi Dubes Indonesia di Tokyo.
Laporan kedua tokoh dan pejabat pemerintah kepada sebuah Kedutaan Besar asing jelas adalah perbuatan spionase yang membayakan keselamatan negara. Maka kasus ini sebenarnya lebih berbahaya dari tuduhan korupsi dan penyalanggunaan wewenang kepada Presiden SBY mau pun istrinya. Apalagi mungkin banyak laporan lain yang disampaikan keduanya kepada Kedutaan Besar tapi belum terungkap kepada masyarakat.
T.B. Silalahi yang bekas perwira tinggi militer itu dan Agung Laksono, politisi Golkar yang bekas Ketua DPR dan kini menjabat menteri, harus diadili untuk perbuatan mereka menjadi informan Kedutaan Besar Amerika Serikat. Kalau terbukti itu adalah sebuah skandal spionase yang harus dihukum sekali pun Indonesia memiliki hubungan diplomatik yang baik dengan Amerika Serikat.
Sekadar contoh bisa dilihat kasus yang melibatkan Lawrence Franklin, staf Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Januari 2006, Franklin dihukum 12 tahun lebih untuk kesalahannya memberikan dokumen kepada Steve Rosen dan Keith Weissman dari American Israel Public Affairs Committee (AIPAC), lembaga yang dikelola warga Amerika keturunan Israel di Washington, dan dikenal sebagai lobi Yahudi paling utama di Amerika Serikat. Dari sana diduga informasi itu mengalir kepada Naor Gilon, Kepala Bidang Politik Kedubes Israel di Washington. Memang belakangan pengadilan yang lebih tinggi memperingan hukuman Franklin.
Informasi yang diberikan Franklin menyangkut berbagai langkah dan kebijakan Amerika Serikat terhadap Iran dalam kaitan dengan pembangunan reaktor nuklir oleh Teheran. Bila diingat Amerika Serikat dan Israel adalah dua negara yang amat dekat hubungannya, dan Iran adalah musuh kedua negara, mestinya FBI tak perlu bersusah-payah menguntit Franklin. Tapi ternyata kasus ini tetap dianggap kejahatan dan dibawa FBI ke pengadilan.
Yang hendak dikatakan: bahwa kasus spionase T.B.Silalahi dan Agung Laksono, pejabat resmi Indonesia yang menjadi informan Kedutaan Besar Amerika Serikat, harus dibawa ke pengadilan. Biarlah pengadilan kelak yang menentukan keduanya bersalah atau tidak, sebagaimana kasus Lawrence Franklin di Amerika Serikat.
Amran Nasution
(Staf Ahli Tabloid Suara Islam)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar