Oleh Sri Pudyastuti, Jerman, via Koran Tempo
Mengapa Andreas Hadter, 53 tahun, bersusah payah melakukannya? “Saya kan juga perlu cuti dari urusan keluarga,” katanya bergurau. Tapi, dia tak bergurau ketika menerbitkan catatan pengalamannya berjalan kaki itu dalam sebuah buku bertajuk Spaziergang nach Rom (Jalan Kaki ke Roma).
Perjalanan itu berawal dari hobi Andreas dan sepupunya, Michael, berjalan kaki di Vechelde, sebuah kecamatan yang terletak sekitar 45 menit berkendaraan dari Hannover, Jerman. Mereka biasanya berjalan 40-50 kilometer yang ditempuh dalam sehari.
Lalu, mereka mencari tantangan baru dan sebuah kenyamanan dengan memilih untuk melancong ke Roma. Alasannya, “Karena utara (Jerman) lebih dingin, sedangkan Italia ada di selatan lebih hangat,” kata Andreas.
Akan halnya Michael, teman bermain Andreas sejak kanak-kanak, punya alasan sendiri. Ide itu disetujuinya karena ia perlu curhat soal masalah pribadi, yang tak bakal bisa berkesinambungan dibicarakan kalau tidak sedang berduaan seperti jalan kaki itu.
Untuk perjalanan panjang ini, mereka masing-masing harus memanggul ransel seberat 10 kilogram. Ransel itu berisi pakaian dan peralatan kemah serta puluhan peta. “Peta itu bekal terpenting. Paling susah kalau masuk wilayah negara lain, karena garis di satu peta berbeda dengan lainnya. Itulah kenapa kami perlu peta dari berbagai versi,” kata Andreas.
Untungnya Eropa punya peta khusus rute pejalan kaki, jadi lebih gampang memilihnya. Uraian wilayah di peta pejalan kaki tidak sama dengan rute mobil. Maka di tahun 1996 itu, mulailah mereka melewati etape pertama: 35 kilometer menuju Wolfenbuttel, kota kecil setelah Vechelde, ditambah 30 kilometer lagi ke Pegunungan Harz. Etape ini bisa diselesaikan dalam sehari, sehingga mereka bisa pulang ke rumah hari itu juga.
Hari-hari berikutnya mereka berjalan lebih jauh lagi. Kadang etape-etape selanjutnya makan waktu 3-4 hari. Itu artinya merka mesti menginap di hotel, lalu pulang dengan kereta api, sebelum merancang waktu lagi untuk menempuh etape selanjutnya. Dalam perjalanan itu Andreas banyak mengalami peristiwa-peristiwa lucu. Ia, misalnya, baru tahu bahwa sepupunya tak pernah mau memakai baju bekas pakai di hari sebelumnya. Michael juga selalu buru-buru ganti baju jika tubuhnya terkena hujan, meski cuma rintik-rintik. “Sepertinya dia ketakutan bakalan sakit karena badannya basah,” kata Andreas.
Alhasil, semua baju bekas pakai itu dibuang atau dipaketkan ke rumahnya. Memang ransel jadi lebih enteng, tapi jadi masalah ketika baju tinggal sepotong, sementara jarak yang ditempuh masih puluhan kilometer lagi dan tidak ada toko baju di sekitarnya.
Salah satu medan berat yang harus mereka tempuh adalah ketika mereka melintasi pegunungan Alpen selama setengah bulan dan menempuh jalan yang ternyata berujung ke daerah sepanjang Laut Mediterania, Po Ebene, yang temperaturnya luar biasa panas, sampai 40 derajat Celcius. Andreas mesti membeli berliter-liter botol air minum di sini. Bayangkan berapa liter air minum yang mesti ditenggak jika daerah ini mesti tiga hari dilewati? Bayangkan juga bagaimana tersiksanya Michael, si anti-baju bekas pakai itu, mesti berhari-hari memakai baju penuh keringat.
Mereka juga pernah tersesat berjam-jam dan harus melewati lagi jalan yang sama sebelum menemukan rute yang benar. Sempat pula jalan mereka tersendat-sendat lantaran dengkul Michael bermasalah, yang memaksa mereka beristirahat setiap 10 kilometer. Ketika dengkul Michael bertambah parah, dia terpaksa menumpang bis ke etape berikutnya, meninggalkan Andreas jalan sendirian. “Enak malah. Kalau sendirian malahan bisa jalan puluhan kilometer tanpa istirahat,” ujarnya Andreas.
Tantang terberat mereka sebenarnya adalah tekad. Setiap tahun mereka harus membulatkan kembali tekad mereka untuk sampai ke Roma dengan melanjutkan etape berikutnya. Tekad itu, untunglah, tidak luntur hingga mereka merampungkan seluruh jalur pada 2006. “Ini memang ide sinting, tapi kami puas begitu menapakkan kaki di Kota Roma,” kata Andreas.
Pengalamannya itu kemudian dituangkan ke dalam buku, yang bahkan sudah mulai Andreas tulis sebelum rute berakhir. “Saya perlu tiga tahun untuk menyelesaikannya,” kata Andreas tentang buku setebal hampir 500 halaman yang ditulis dengan gaya santai dan jenaka itu.
Lantas ia pun mulai menawar-nawarkan bukunya ke beberapa penerbit. Sayang, karena belum punya nama, tak ada penerbit yang tertarik. Terpaksa buku itu diterbitkannya sendiri dengan ongkos produksi 800 euro untuk 5.000 eksemplar. Pemasaran buku hobi semacam ini memang tak bisa diharap bakal laris seperti halnya novel atau biografi.
Andreas mahfum. Maka, ia melakukan banyak hal untuk mempromosikan bukunya. Dia, misalkan, menulis petunjuk singkat tentang olahraga jalan kaki di internet. Ia juga ikut memamerkan bukunya di pameran buku terbesar kedua dunia, Leipzig Book Fair, tahun lalu. Usahanya tak sia-sia. Artikelnya muncul di koran lokal Braunschweiger Zeitung. Bukunya juga diresensi pembaca di Internet.
Toko Buku Graf, toko buku ternama yang amat selektif menjual buku di Jerman, akhirnya bersedia menjual buku Andreas. Selain itu ia diminta membedah bukunya di depan para dokter yang punya minat pada olahraga jalan kaki. Di tengah persaingan ketat penjualan buku di Jerman, dalam tempo setahun peringkat bukunya terdongkrak naik dari nomor 1.000.000 ke nomer 40.000. Terang saja Andreas lega. “Saya belum menikmati royalti, tapi saya puas,” kata wiraswastawan itu.
Tapi, omong-omong, apa sih enaknya jalan kaki sejauh itu? “Sulit digambarkan perasaan saya ketika memandang keindahan lukisan alam sepanjang perjalanan. Tapi, kalau diambil analoginya, mungkin rasanya sama dengan perempuan yang doyan belanja,” kata Andreas.
Namun, perjalanannya belum tamat. Tahun ini dia memulai proyek baru: bersepeda keliling Laut Baltik, sungai besar yang memisahkan lima negara — Island, Lettland, Lituania, Rusia dan Polandia — sepanjang 7 ribu kilometer.
0 komentar:
Posting Komentar