AS, tak pelak, tengah berada dalam situasi yang sama dengan negara-negaran Asia dan Latin di tahun 1990-an—bahkan lebih buruk, karena sekarang AS harus memangkas begitu banyak anggaran belanja dan alokasi dana untuk rakyat. “Semua ini sudah menciptakan rasa antipati dan mungkin akhir lain dari dunia ini,” ujar Josep Stiglitz, kepala bidang ekonomi Bank Dunia.
Jika melihat perbandingan antara AS dan Negara-negara Asia dan Latin dulu, ada perbedaan yang sangat mendasar. Asia, dengan segala kekisruhannya mulai dari Jakarta sampai Argentina, telah menemukan keajaibannya masing-masing. Keajaiban yang gelap. Ketika itu, kita semua masih bisa mengingatnya jika krisis di Asia terutama benar-benar seperti gelembung. Tahun 1997, investor dunia hengkang dari Thailand, begitu juga dari negara Asia lainnya, Rusia, dan Amerika Utara.
Ketika semua negara ini lari pada IMF untuk solusi, lembaga ini mensyaratkan prosedur licik dan kejam yang tak akan bisa dilupakan oleh para ekonom dunia sampai saat ini. IMF memberlakukan bunga yang sangat tinggi, mengendalikan modal, dan menolak semua mata uang kecuali dollar. Itu akibatnya, misalnya di Indonesia, mata uang rupiah bernilai sangat rendah ketika itu, dan harga tukar dollar bisa mencapai level dua kali lipat daripada sekarang ini. IMF juga memaksa semua pemerintah Asia untuk mengurangi belanja dan investasinya, dan pada 1998, ekonomi di Asia tinggal menyisakan 7% saja, dan pengangguran tercecer di mana-mana.
Dan apakah sekarang IMF pun memberlakukan hal yang sama terhadap AS? Mantan sekretaris keuangan AS, Lawrence Summers yang menangani krisis di akhir 90-an, menolak jika AS menerapkan standar ganda. Dia beralasan kalau AS menghadapi persoalan yang berbeda: negara Asia mengalami kejatuhan nilai tukar mata uang, sedangkan AS babak-belur karena kredit perumahan. Sedikit lagi, menurut Summers, AS sangat rawan terperosok pada neraka ekonomi yang drastis. Para ekonom sudah memprediksikan bahwa pemotongan bunga di AS akan memicu inflasi.
Yang betul adalah, permasalahan semua ini tidaklah berpusat pada persoalan ekonomi tetapi politik. Negara-negara Asia tidak mempunyai pilihan sama sekali ketika meminta bantuan IMF sedangkan AS, yang memang mengendalikan IMF bisa berlaku sewenang-wenang dan mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.
Ketidakadilan ini adalah sebuah ironi dalam potret AS. Salah satu konsekuensi mendapatkan bantuan IMF adalah negara-negara berkembang tak boleh meminta bantuan lagi untuk kedua kalinya untuk kasus yang sama. Sedangkan itu tak berlaku untuk AS yang telah mengalami perdarahan yang akut berkali-kali hanya dalam waktu enam bulan terakhir saja. Namun, ketidakadilan selalu mendapatkan ganjarannya, karena ekonomi AS tidak juga mau beranjak dari dasarnya dan semakin banyak menggelembungkan krisis-krisis lainnya yang kini siap meledak. (sa/tnt)
0 komentar:
Posting Komentar