Today :

Not found what you looking for?:

Diposting oleh PUTRA BETAWI

Published on Rabu, 20 April 2011

Film “Sampah” Hanung Rusak Kerukunan Umat Beragama


Toleransi ala Hanung seperti jalan yang menghantarkan umat ini pada sebuah pendangkalan aqidah. Aroma pluralisme dalam film ”?” terasa begitu menyengat. Stereotype umat Islam yang buruk, dilukiskan Hanung dengan cara pandang yang lebay, tendensius, dan fatal. Inilah film “sampah”berkedok toleransi, yang justru merusak kerukunan umat beragama.

Setelah Film “Perempuan Berkalung Surban” menuai kontroversi, Sutradara Hanung Bramantyo kembali menggarap film terbarunya yang hanya diberi tanda “?” (tanda tanya). Di film ke-14 nya itu, Hanung menggaet beberapa bintang film muda, seperti Reza Rahardian (berperan sebagai Soleh), Revalina S Temat (Menuk), Agus Kuncoro (Surya), Endhita (Rika), Rio Dewanto (Ping Hen), Hengky Sulaeman (Tan Kat Sun), David Chalik, dan Glenn Fredly.

Film ”?” merupakan hasil produksi kerjasama antara Mahaka Picture dan Dapur Film, dimana Erick Thohir sebagai Produser Eksekutifnya, Titien Wattimena (penulis naskah), Tya Subiakto (penata musik), dan Yadi Sugandi (penata fotografi). Untuk lokasi syuting dipilih di kota Semarang, Jawa Tengah.

“Saya pilih tempat di Semarang, karena di sana ada lima agama, tapi tidak pernah terjadi penusukan terhadap umat beragama yang berbeda. Ini sebuah film yang menceritakan kegelisahan saya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Saya ingin berstatemen dalam bentuk film,” tukas Hanung.

Saat menyaksikan launcing pemutaran film berdurasi 100 menit ini di bioskop Jakarta Teater, Suara Islam mencatat, ada beberapa adegan yang sangat menyengat dan melukai hati umat Islam. Aroma pluralisme sudah bisa dirakan saat melihat poster film itu dengan membentangkan kata: “masih pentingkah kita berbeda?”. Bahkan Hanung akan memberi doorprize senilai Rp. 100 juta kepada penonton yang memberikan judul film “?” ini.

Di awal-awal film itu, penonton sudah disengat dengan hal yang sensitif, seperti adegan penusukan terhadap seorang pendeta bernama Albertus. Tidak jelas apa motif penusukan yang dilakukan oleh seseorang yang berpenampilan preman tersebut. Meski tidak menunjuk hidung secara langsung, namun ada kesan Hanung hendak menggiring stereotype buruk, seolah yang suka melakukan tindakan anakis datang dari kelompok agama tertentu.

Adegan selanjutnya, tanpa alasan yang jelas pula, sekelompok pemuda Islam bersarung dan berpeci tiba-tiba mencerca Pinghen, seorang keturunan Cina dengan panggilan ”Cino” (menyebut Cina dengan logat Jawa), lalu Pinghen membalasnya dengan cacian ”dasar teroris onsu” (logat Jawa yang berarti teroris anjing). Dalam film itu, Hanung yang punya darah keturunan Cina itu banyak menggunakan simbolik-simbolik bersensasi murahan, penuh didramatisir, yang berpangkal dari sebuah kemarahan terpendam.

Dengan dalih toleransi, Hanung juga menciptakan adegan seorang Muslimah berkerudung bernama Menuk yang merasa nyaman bekerja di sebuah rumah makan (restoran Cina) yang menghindangkan daging babi – makanan yang diharamkan oleh Islam. Toleransi ala Hanung ingin mengesankan, bahwa muslimah yang diperankan oleh Revalina S Temat adalah muslimah yang ideal, yang bisa menghargai sebuah perbedaan. Meski tidak sampai memakannya, tidak terlihat kegalauan hatinya, seolah daging babi bukan sesuatu yang diharamkan.

Di sela adegan itu, ada seorang Muslimah yang menolak bekerja di sebuah restoran yang sama, dengan alasan prinsip agama yang dipegang. Namun, cara pandang Hanung yang keliru, ingin menunjukkan bahwa Muslimah yang menolak bekerja memotong daging babi setiap hari di restoran Cina itu dikesankan sabagai muslimah yang tidak toleran.

Sang Murtadin

Adegan yang menyesatkan lainnya adalah ketika seorang wanita (diperankan Endhita) yang sebelumnya beragama Islam kemudian berpindah agama alias murtad menjadi pemeluk Nasrani yang taat. Ada sebuah ungkapan yang terlontar dari bibir sang murtadin tadi, bahwa dirinya pindah agama tidak berarti mengkhianati Tuhan. Pesan yang disampaikan dalam film ini adalah manusia berhak menjadi murtad, dan itu adalah hak asasi yang patut dihargai.

Bukti film Hanung menyebarkan paham pluralisme agama yang telah difatwakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini bisa dilihat dalam narasi pada film tersebuti: ”...semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama; mencari satu hal yang sama dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan.”

Adegan yang lebih menyengat lagi adalah ketika Surya (diperankan Agus Kuncoro), seorang pemuda Muslim bersedia diajak bermain drama di sebuah gereja pada perayaan Paskah, dengan memerankan sebagai Yesus Kristus. Mulanya hatinya galau, tapi setelah berkonsultasi pada seorang ustadz muda (diperankan oleh David Khalik), ditemukan jawaban yang amat sesat menyesatkan. Katanya, bahwa untuk menjaga keimanan bukan terletak pada fisik, melainkan hati. Maka masuk gereja, bahkan memerankan aktor sebagai Yesus sekalipun bukan sesuatu yang subhat dan diharamkan. Bagi Hanung, hal itu tak perlu dipersoalkan.

Usai memerankan Yesus, pemuda muslim yang sehari-hari tinggal di masjid itu pun melafadzkan QS. Al Ikhlas (Qul huwallohu ahad). Hanung ingin menggambarkan, memerankan Yesus bukan ancaman yang bisa mendangkalkan akidah keislaman seseorang. Kesalehan dan keimanan Islam itu tetap terjaga, meski mencampuraduk keyakinan dengan mengikuti ritual agama lain (Nasrani). Sangat aneh, pemuda islam seperti Surya malah memakmurkan gereja, bukan memakmurkan masjid, tempat dimana ia bekerja sebagai marbot.

Inilah kampanye pluralisme yang diusung Hanung. Kok bisa, QS Al Ikhlas yang menegaskan bahwa Dia (Allah Swt) Tuhan yang Maha Esa. Tuhan yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Tapi oleh Hanung, ditafsirkan secara serampangan dengan kacamata pluralis, yang membenarkan Yesus sebagai anak Tuhan. Setidaknya Hanung menghantarkan seorang Muslim menjadi hipokrit bahkan musyrik. Padahal dalam Islam, musyrik adalah dosa besar yang tidak terampuni, kecuali bertobat.

Adegan lebay penuh rekaan itu juga dilukiskan Hanung, pada saat restoran Cina mengalami kerugian saat memasuki bulan Ramadhan, dimana umat Islam sedang berpuasa. Ada kesan, bahwa pelanggan restoran yang suka makan daging babi itu adalah umat Islam. Sehingga ketika umat Islam sedang menjalankan ibadah puasa, maka restoran pun menjadi sepi. Bahkan pada saat lebaran, pemilik restoran Cina itu lagi-lagi melarang karyawannya untuk libur atau pulang kampung, dengan alasan restoran merugi, karena terlalu lama libur. Hanung memang menciptakan dua karakter yang berbeda dalam sebuah keluarga keturunan Tionghoa, seorang ayah (Tan Kat Sun) yang toleran dan anak (Ping Hen) yang intoleran.

Konyolnya lagi, diciptakan lah insiden penyerangan terhadap restoran Cina oleh sekelompok masyarakat muslim dengan membawa kayu hingga terjadi tindakan anarkis yang disertai pemukulan. Hanung lagi-lagi membuat stereotype buruk atas umat Islam yang suka dengan anarkis. Bisa dibayangkan, apa mungkin di hari lebaran, umat Islam melakukan penyerangan dan perusakan. Hanung yang mengaku Muslim nampak lebay dan tidak waras, dimana umat Islam digambarkan sebagai makhluk yang bengis dan biadab.

Adegan Banser yang menjaga gereja pun digambarkan Hanung sebagai hero. Seperti meledek, Hanung menggambarkan, Banser NU adalah sebuah pekerjaan yang disediakan untuk para pengangguran, seperti Soleh (diperankan oleh Reza Rahadian). Dari banyak adegan dalam film tersebut, nampak alur cerita yang tidak sistematis, tergesa-gesa, vulgar, sarkasme, sekedar simbolik untuk mendramatisir kisah yang penuh amarah, dan jauh dari kualitas. Film Hanung tak ubahnya ”sampah” yang melukai hati umat Islam, meski dibumbui dengan humor segar yang mengundang tawa.

Hanung sepertinya pura-pura bodoh, ketika ditanya apa itu pluralisme. Bahkan ia mengelak film garapannya itu punya motif untuk mengkampanyekan pluralisme. “Saya tidak mengerti apa itu pluralisme. Nanti, kalau saya bilang, film itu pluralisme, nanti golongan pluralis akan berusaha memanfaatkan. Begitu juga kalau saya bilang ini liberal, nanti mereka akan mengklaimnya juga.”

Jadi istilah pluralisme buat Hanung tidak lagi sesederhana istilahnya saja karena di dalamnya sudah ada muatan politis, pergerakan dan keyakinan. “Saya berusaha melepas diri dari itu semua. Saya adalah peribadi yang hanya berusaha memotret semua persoalan yang berkelindan di dalam diri saya.”

Ketika ditanya, bagaimana anda memahami pluralisme? Hanung mengaku tidak tahu pluralisme itu apa, karena ia sangat hati-hati dengan istilah pluralisme. “Makanya saya kasih judul film itu hanya tanda tanya,” ujarnya berdalih.

Bila Hanung mempersilahkan penonton memberi judul film “?” ini, maka pantas, jika film ini diberi judul “Sang Murtadin” atau “Sang Perusak Akidah”.

Adhes Satria

1 komentar:

  • Lebih baik film ini jangan di tayangkan bahkan kalau perlu jangan beredar ....karna merusak akidah dan dampaknya sangat memperburuk agama islam...
    pesan untuk Hanung jika tidak tau tentang agama islam dan tidak punya ilmunya jangan bicara tentang silam.......

    25 April 2011 pukul 09.17

Posting Komentar